Hidup bukan sekedar hidup

Sunday, April 29, 2018

Di Persimpangan Jalan

Source: pxhere

Sepi sunyi suasana basement. Hanya tinggal satu motor yang berada di basement. Tinggal aku seorang diri. Meski demikian segala sudut basement nampak terang tak ada satu pun kegelapan. Ya, lampu basement memang tak pernah dimatikan sepanjang malam. 

Sore itu merupakan hari yang sangat menyebalkan. Gagal perjumpaanku dengan dosen. Sebuah kegagalan yang bukan kurencanakan dan sebuah kegagalan yang ku tak tahu alasannya. Jelas skripsiku menjadi molor. Jelas sungguh tak produktif. Waktu yang terbuang sia-sia tanpa hasil yang jelas. 

Segera kunyalakan motorku. Ku gas kencang. Keluar basement menyisakan debu yang berhamburan sepanjang bekas roda motor. Sebuah basement yang baru selesai dibangun memang menyisakan debu semen yang entah memang tidak tahu cara menghilangkannya atau entahlah. Yang jelas debu tersebut sangat mengganggu setiap harinya.

Rasa kesal dan gundah perlahan hilang berganti damai dan tenang seiring alunan kumandang adzan magrib. Demikian juga dengan para pengendara motor perlahan melambat. Seolah-olah kedamaian menghampirinya setelah seharian berburu rupiah disetiap penjuru bumi. Terlihat beberapa pengendara merapat di rumah Sang Pencipta yang berada di pinggir jalan. Tempat membasuh kotoran dan segala najis mulai penuh antrian. Shof-shof kosong mulai terisi penuh. Sejenak manusia mengingat Sang Sencipta sekaligus berkeluh kesah.

Segera kunyalakan motor dan kupacu. Kali ini dengan tarikan gas yang syahdu penuh perasaan romantis. Gemerlap lampu kota yang mulai menyala bagaikan bunga-bunga surga penambah bumbu-bumbu romantisme. Ya semua itu karena romantisme yang diberikan Sang Pencipta kepada semua hambanya yang memohon bahkan tanpa memohon kepadanya. 

Tarikan gas motorku melambat lalu berhenti di sebuah persimpangan. Lampu merah menyala dengan angka hitungannya. Ku tatap angka hitungan lampu merah itu. Sebuah hitungan dari angka besar menjadi angka semakin kecil. Menyadarkanku bahwa hidup ini sangat singkat. Waktu berjalan sangat cepat bahkan sudah tak layak disebut berjalan melainkan berlari.

Motor dan mobil di seberang simpangan lalu-lalang silih berganti sesuai dengan hitungan waktunya masing-masing. Semua motor dan mobil mempunyai waktu dan gilirannya masing-masing untuk mendapat giliran melaju. Mereka tidak melihat yang lain atau bergantung dengan yang lain. Mereka akan berjalan pada gilirannya ketika angka hitungan lampu merah sudah menunjukan lampu hijau. Setiap pengendara dari berbagai arah persimpangan akan mendapatkan waktu dan gilirannya masing-masing. Motor dan mobil itu tidak saling beradu cepat layaknya mobil dan motor balap di sirkuit.

Sebuah pelajaran berharga bagiku bahwa sesungguhnya hidup ini bukan beradu kecepatan. Siapa yang paling cepat atau sebagainya. Karena setiap orang itu punya waktunya masing-masing. Orang yang lambat pada satu hal bisa jadi dia cepat pada hal lain. Begitupun orang yang cepat pada satu hal bisa jadi lambat pada hal yang lain. Hal ini bukan masalah karena sesungguhnya hidup bukan masalah cepat atau lambat. Tetapi hidup adalah berjalan. Setiap perjalanan punya tujuan. Setiap perjalanan melalui sebuah jalan atau media yang mampu menghantarkan pada tujuan. Cepat atau lambat bukanlah masalah, yang menjadi masalah adalah ketika seorang pejalan tidak pernah sampai pada tujuannya.

Pada hakekatnya manusia sebagai makhluk hidup harus mampu mewarnai kehidupan. Entah kehidupannya atau kehidupan orang lain. Mewarnai adalah mengubah sesuatu yang tadinya hampa atau biasa saja menjadi sesuatu yang indah dan menakjubkan. Sehingga bukan disebut mewarnai kehidupan ketika itu merugikan manusia lain dan semesta.

Berkarya adalah satu-satunya tindakan untuk mewarnai kehidupan. Dengan berkarya akan menunjukan bahwa ada hidup. Sebagai manusia yang hidup harus berkarya. Hal itu sebagai rasa syukur kepada Sang Pencipta atas segala nikmat kehidupan yang tak dapat dihitung. Berkarya tidak diukur dengan harta. Berkarya tidak diukur dengan uang. Berkarya tidak diukur dengan nasi bungkus. Berkarya tidak diukur dengan hal-hal kenikmatan. Karena sesungguhnya kenikmatan diberikan Sang Pencipta tanpa hamba meminta atau bahkan kepada hamba yang tidak mengenal-Nya. Kenikmatan tersebut diberikan Sang Pencipta untuk bekal kehidupan. Dan kenikmatan tersebut merupakan bagian dari kehidupan.

Namun manusia sering salah memahami dan salah prasangka terhadap kehidupan. Kalau tidak salah bukan manusia namanya. Kalau tidak salah bukan hamba namanya. Sering kali manusia mengartikan berkarya adalah aktivitas untuk memperoleh kenikmatan. Sehingga obsesi setiap manusia dalam berkarya adalah untuk mendapatkan hal-hal penunjang kenikmatan seperti uang, harta, dan nasi bungkus. Mereka lupa bahwa tanpa berkaryapun Sang Pencipta sudah menyediakan itu. Karena salah prasangka terhadap hakekat berkarya, maka manusia dalam mewarnai kehidupan yakni berkarya tidak didasari dengan cinta dan rasa syukur. Melainkan didasari dengan obsesi-obsesi akan penunjang kenikmatan seperti nasi bungkus.

Salah sangka dan salah prasangka tersebut menjadikan manusia tanpa arah dan cenderung rapuh. Mereka tidak tahu untuk apa mereka menuntut ilmu (Sekolah, Kuliah, dsb). Sehingga yang mereka dapat hanyalah selembar title. Tetap mereka menjadi manusia yang bingung. Tetap mereka menjadi manusia yang tidak merdeka akan dirinya sendiri. Mereka berlari kesana kemari bukan dengan cinta melainkan dengan gelisah dan kerakusan.

Suara klakson dibelakangku mengagetkanku. Lampu merah berubah menjadi hijau. Semua pengendara mulai melaju tanpa ragu. Mereka mantap melaju pada jalan sesuai pilihannya masing-masing. Saat itu manusia-manusia benar-benar menjadi manusia yang merdeka dan penuh cinta.
Share:

0 comments:

Post a Comment