Hidup bukan sekedar hidup

Wednesday, October 3, 2018

Cerita Sederhana di Bawah Temaram, Sebuah jurnal #1

Akhir-akhir ini aku suka berpetualang di alam. Tenang, sunyi, segarnya alam menjadi daya tarik bagiku. Kali ini aku akan membagikan ceritaku saat nge-camp di pantai. Kegiatan nge-camp sebelumnya aku lakukan di gunung. Hal ini pertama kali aku lakukan. Waktu itu ada ajakan dari salah satu kawan Ari namanya untuk nge-camp di pantai. Pantai antonim dari gunung. Menarik bukan. Aku iyakan saja ajakan itu.

Setelah beberapa kali ditunda akhirnya kami mendapat tanggal yang pas untuk melakukan kegiatan. Maklum kali ini tak lagi seperti dulu yang selalu punya waktu sama. Saat ini karena kesibukan masing-masing menentukan waktu menjadi hal yang sulit. Tak hanya Ari aku juga bersama dua kawanku Hafidh dan Sidiq. Sabtu, 28 September 2018 waktu yang pas untuk kami nge-camp.

Terdapat beberapa pantai favorit untuk nge-camp di Jogja. Tentu saja pantai-pantai di Gunung Kidul. Selain pasir putih dan bebatuan karang. Pantai-pantai yang belum banyak terjamah manusia menjadi daya tarik. Tentunya suasana alami alam masih kental terasa. Hal itu terdapat hampir disemua pantai di Gunung Kidul.
Semakin sepi dan belum terjamah banyak manusia tentunya semakin menarik pantai tersebut. Setelah kami cari referensi mengenai pantai-pantai yang dirasa pas, Akhirnya Pantai Greweng menjadi pilihan kami. Pantai yang terletak di desa Jepitu, kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Lebih tepatnya berada di antara Pantai Wediombo dan Pantai Jungwok.
Rencananya kami nge-camp hari Jumat, 27 September 2018, tetapi karena salah satu kawan kami Ari ada pekerjaan mendadak terpaksa diundur satu hari. Pada sabtu, 28 September 2018 akhirnya terlaksana. Kami berangkat dari jogja pukul 14.00 wib karena pagi harinya aku harus menghadiri acara wisuda kawan kuliahku.
Perjalanan menuju lokasi sekitar 2 jam lebih 30 menit dari kota Jogja dan melalui jalan utama kota Wonosari. Namun kami lebih memilih melalui jalur selatan yakni melalui Imogiri Bantul, Panggang dan seterusnya mengikuti sepanjang pantai di Gunung Kidul. Perjalanan melalui jalur selatan ternyata lebih lama yakni memerlukan waktu sekitar 3 jam 30 menit. Hal ini disebabkan jalur selatan yang berkelok-kelok. Namun tenang saja jalan yang dilalui cukup bagus namun kekurangannya cuma waktu tempuh yang lebih lama.
Diperjalanan kami sempat mampir ke toko kelontong di pinggir jalan untuk membeli bekal makanan dan minuman. Kami pikir di sana tidak ada warung penjual makanan. Kami sampai di lokasi pantai Greweng sesaat setelah matahari tenggelam. Sudah terasa gelap. Kami pun hanya bisa sampai di pintu masuk Pantai Wediombo yang berjarak kurang lebih ditempuh dengan jalan kaki memerlukan waktu 20 menit. Lumayan jauh memang. Hal ini karena akses menuju ke Pantai Greweng hanya bisa dilalui dengan jalan kaki melewati ladang pertanian. Menarik bukan.
Oya untuk ke Pantai Greweng kami harus membayar Retribusi di TPR Rp 20.000 untuk 4 orang. Selanjutnya kami menitipkan sepeda motor dengan tarif Rp 5.000 per motor. Jalan yang kami lalui menuju ke pantai berupa jalan setapak yang mana di kanan dan kiri merupakan ladang pertanian. Sepanjang jalan yang kami lalui, kami berjumpa dengan beberapa orang. Rupanya mereka baru saja dari pantai dan hendak pulang.


Setelah 20 menit berjalan langkah kaki kami menginjak pasir halus nan putih. Sejauh mata memandang hamparan pasir putih dan halus terlihat. Ditambah suasana mulai gelap menambah suasana yang nyaman. Ketika kami sampai di pantai baru terdapat 2 tenda yang berdiri. Kami pun segera menentukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Kami memilih hamparan pasir sebelah kiri dan berada di garis terdepan bibir pantai. Dengan harapan bisa melihat view dan suara deburan ombak pantai dari dekat. Sementara tenda-tenda yang lain berdiri di belakang tenda kami.
Setelah tenda berdiri kami berbagi tugas untuk memasak air dan bergantian cuci muka serta beribadah. Setelah itu segelas kopi menemani kami menyeduh indahnya temaram malam dan suara deburan ombak. Menggelar dua matras untuk berempat. Lampu lentera yang tergantung di depan tenda. Alunan musik “Aku tenang” dari Fourtwenty menambah kehangatan kami dikala menyantap nasi rames yang kami beli di pasar Jepitu. Oh sebuah suasana yang kami lakukan terakhir kali 10 tahun yang lalu dalam sebuah perkemahan Sekolah Menengah Pertama tepatnya tahun 2008. Sungguh suatu anugrah luar biasa kita bisa bermalam dihamparan pasir halus nan putih.
Tiada api unggun api paravin pun jadi. Kami tidak bawa kayu bakar dan alas bakar untuk membuat api unggun. Untung saja Ari bawa paravin dan tungkunya. Langsung saja kami bakar dan ah benar saja meskipun tak sebesar api unggun 10 tahun yang lalu namun ini cukup untuk menciptakan suasana yang kembali sama.
Masih di atas matras yang sama. Kali ini kami berbaring berjajar memandang langit yang sama, memandang bintang yang sama, dan sesekali menemukan gambar rasi bintang yang kami pelajari sewaktu sekolah dasar dahulu. Ada rasi bintang layang-layang, waluku, kalajengking, dll. Ah semakin malam bintang semakin banyak begitupun dengan deburan ombak yang terasa semakin deras. Di bawah timbunan pasir putih nan halus kaki kami merasakan hangatnya malam. Nostalgia masa lalu saat berseragam biru putih menjadi cerita utama.
Hingga akhirnya si penjaga pantai memberi arahan tentang ombak pasang yang akan datang. Fiuh begitu taktis dan tepat si penjaga pantai mengabarkan titik ombak yang akan datang. Luar biasa memang. Tenda kami dinilai aman tidak akan terkena pasang. Ombak pasang akan sampai sekitar 1 meter di depan tenda kami begitu pemaparan si penjaga pantai. Kami pun kembali berbaring memandang rasi bintang dan berselimut hangat pasir meski kami tidak tahu apa yang akan terjadi. To be Continued....

***
Share:

0 comments:

Post a Comment