Hidup bukan sekedar hidup

Tuesday, July 9, 2019

Trade-off Kurva Mantan

*Sebuah Padepokan Akhir 2017
Avro melangkah gontai di sebuah lorong. Pandangan matanya lurus ke depan. Setumpuk kertas copy-an digenggaman tangan berisi teori penunjang tugas akhir. Ia baru saja selesai kelas studi batin. Segera menuju ruang Suhu. Bertemu Pak Pilips, Suhu pembimbing tugas akhir. Seorang Suhu dengan gaya nyentrik rambut klimis.

Suhu yang ia cari tak ada di ruangan. Lagi-lagi ia harus menunggu. Tiga kursi kayu terletak  di depan ruang Suhu. Sepertinya memang disediakan bagi para pendekar yang sedang menanti kehadiran Suhu. Sejenak, Avro mengamati ketiga kursi kayu tersebut. Dua kursi yang nampak kuat terletak berdekatan. Sementara satu kursi nampak usang dan rapuh terletak agak jauh. Avro memilih duduk di kursi usang dan rapuh. Entah mengapa Avro merasa iba dengan kursi usang dan tua itu. Sebab sudah kerja semesta, jiwa yang rapuh akan saling iba.

Lalu-lalang para pendekar melintas. Ia tetap merasa sepi. Maklum saja mereka adalah pendekar adik tingkat Avro. Sementara pendekar seperjuangan Avro sudah sibuk dengan urusan pribadi. Jangankan pendekar seperjuangan, Mantan kekasih Avro, Avri saja sibuk dengan urusannya. Lebih menyesakan dada, Avri ditemani Sang Pendekar yang lebih Gagah dibanding Avro. Uhhh ciut mengkerut semakin sesak terasa dada Avro. Ia tak yakin sanggup melewati rintangan yang diberikan para Suhu.

Masih di kursi usang di depan ruang Suhu, Avro memalingkan pikirannya pada kertas berisi teori. Melawan rasa kalutnya ia perlahan mengejanya.

"Trade-off Kurva....."  Matanya sedikit kabur. Ia berusaha melebarkan matanya.

"Trade-off Kurva Mantan." Teori macam apa ini! Avro tak percaya dengan teori yang ia bawa.

Dengan rasa penasaran ia melanjutkan membaca.

"Ketika tingkat ambisi naik, maka tingkat ketertarikan akan turun." Uhh teori macam apa ini. Avro tak percaya. Ia berkali-kali membolak-balik kertas teorinya. Ia berusaha agar fokus dengan tugas akhirnya. Namun bayangan Avri dan segala kenangan terus menghantuinya.

Alhasil seringkali ia menjadi bulan-bulanan Suhu pembimbingnya karena teori-teori yang ia bawa sama sekali tak berkorelasi dengan tugas akhirnya. 

Sementara Avri diseberang kisah lainnya ditemani pendekar menyambut mimpi-mimpi barunya. Ia berhasil lulus dari padepokan. Sebuah padepokan yang hampir sepertiganya dilalui bersama Avro, meski diujung kisahnya tokoh bernama Avro menghilang bak mati di medan perang.

Jangankan mengucapkan selamat, mengucapkan sapa saja Avro tak sudi. Avro benar-benar benci. Ia benci kepada segala hal, kecuali Avri. Ia benci kepada semesta yang telah mengerjai dan membully.

Avro yakin dan sanggup menerima bahwa Tuhan menciptakan segalanya berdua tidak sendiri. Siang dan malam Avro tak takut menghadapinya. Panas dan dingin Avro tak takut menghadapinya. Berhasil dan gagal Avro tak takut menghadapinya.

Namun kali ini, persatuan dan perpisahan, Avro tak sanggup menghadapinya. Jiwanya linglung pikirannya meracau. Ia jatuh ke lembah paling dasar.

***
*Awal 2018 di Sebuah Padepokan
Sebuah awal tahun menjadi energi semangat bagi Avro. Dengan tekad dan niat yang kuat ia berjanji akan mengakhiri segala urusannya di padepokan. Ia lebih semangat meramu teori-teori yang akan ia olah untuk tugas akhirnya. Ruang Suhu menjadi tempat tak asing baginya. Menunggu sendirian, berjalan sendirian sudah menjadi ciri khas pendekar angkatan tua.

Rutinitas menyelesaikan tugas akhirnya kadang membuatnya bosan. Tak ayal kegiatan lain sering ia lakukan. Berkelana menjadi kegiatan paling menarik baginya. Semenjak kisahnya bersama Avri usai, ia menjadi penikmat sepi dan sunyi. Baginya sepi dan sunyi adalah teman curhat yang paling nyaman.

Hati menjadi tenang dipeluk sepi. Gundah pudar dibekap sunyi. Perlahan ia mencari arah yang sempat hilang karena kisah. Sesekali ia bertasbih kepada Tuhan. Oh Tuhan, Engkau memang perangkai kisah. Sungguh tiada kisah yang lebih melainkan kisah yang Engkau rangkai.

Ia bangkit menjadi pendekar seperti sediakala. Langkahnya tak lagi gontai. Langkahnya tegap menatap lorong semesta. Ia pungut segala teori. Pada rumput, pada tanah, pada batu, pada udara, pada cahaya, pada langit, dan semua unsur yang menjadi penanda senja dan pagi.

Ia berjalan menuju ruang Suhu tak lagi gentar. Segala sayatan dan sabetan pedang Suhu tak lagi menggoyahkan. Berkali-kali sabetan dan sayatan, berkali-kali ia berdiri. Ujung tombak kisahnya di padepokan semakin runcing. Semakin ia sampai di ujung.

Ia sanggup meyakinkan teori kepada para Suhu yang semula meragu. Sebuah teori yang semula telihat menye ia lantangkan menjadi teori memukau para Suhu. "Trade-off Kurva Mantan" sebuah teori yang ia temu dari pustaka-pustaka semesta telah menjadikannya pendekar yang ulung. Teori yang ia pungut dari rumput, batu, tanah dan langit. Telah mengubah jiwanya menjadi lantang.

Kamus kisah dengan Avri tak lagi menjadi buku utama bacaan Avro. Semenjak perjalanan berkelana, ia menemukan buku-buku yang telah membuka mata seluas cakrawala. Memupuk jiwanya setegar jalur pendakian. Hingga ia mampu menyudahi kisahnya di padepokan dengan gagah perkasa meski seorang diri.
***
*Beberapa purnama setelah kelulusan
Avro telah menjadi pendekar yang sesungguhnya. Bukit demi bukit telah ia lalui dengan mesra. Ia bercumbu dengan semesta. Hingga membuat permaisuri-permaisuri di negeri seberang cemburu menggerus dada.

Sementara Avri kembali menyapa. Menanyakan kisah yang telah usang di padepokan. Terlihat basa-basi semata, juga terasa menyayat dada.

Namun Avro sekarang tidak mudah lagi disayat. Jiwa pendekarnya telah bulat. Ia tak lagi berjalan gontai. Ia menatap tajam ke depan tepat di kerumunan permaisuri-permaisuri negeri seberang yang juga menatap dengan penuh pesona.



Lembah Kehidupan, 7 Purnama setelah kelulusan
Sebuah catatan kisah
Avro Sang Pendekar
Share:

0 comments:

Post a Comment