Matahari mulai masuk keperaduanya. Siang berganti malam. Lampu-lampu mulai menyala menerangi Desa Sungapan. Anak-anak menyambut ayah mereka setelah seharian bekerja di Ladang dan Sawah. Mereka berkumpul dengan suka cita dan kehangatan keluarga. Kenyamanan, ketentraman, dan keasrian terasa di Desa Sungapan Sore itu. Begitu juga apa yang dirasakan oleh Zainal, anak seorang petani yang sangat menyanyangi kedua orang tuanya. Zainal dikenal sebagai anak yang cerdas, sholeh dan berbakti kepada orang tuanya, Pak Mahfud dan Bu Martini.
Zainal, Pak Mahfud dan Bu Martini baru saja sampai di rumah setelah seharian berkubang dengan lumpur serta terik matahari. Ya, saat itu sedang musim tanam padi. Musim dimana saat-saat paling sibuk seorang petani bekerja dengan penuh semangat dan cinta, dengan harapan tanaman padi akan tumbuh subur dan sehat.
“Le, kamu mandi dulu saja hari semakin gelap.” Bu Martini menyuruh Zainal agar mandi dulu, sementara ia mengambilkan minum untuk Pak Mahfud.
“Baik Bu.” Zainal segera ke kamar mandi.
Sementara di samping rumah, Pak Mahfud memberi rumput dan air komboran untuk sapi-sapinya. Pak Mahfud adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah menghidupi seorang istri dan empat orang anak. Yang paling kecil adalah Zainal Musthofa duduk di bangku kelas dua Sekolah Dasar, kakak pertamanya Nur Aini bekerja di sebuah toko, kakak keduanya Nur Laili, juga bekerja di sebuah toko di kota Yogyakarta, sedangkan kakak ketiganya adalah Azahra Nuryanti duduk di bangku kelas dua SMP. Zainal merupakan satu-satunya anak laki-laki Pak Mahfud, semua saudaranya perempuan. Tinggal Zahra dan Zainal yang masih menjadi tanggungan Pak Mahfud dan Bu Martini, sedangkan dua anak yang tertua Aini dan Laili sudah berkeluarga sendiri.
Setelah Zainal selesai mandi gantian Bu Martini setelah itu baru Pak Mahfud. Sementara di dapur Zahra menyiapkan makanan untuk makan bersama. Kumandang Adzan pun berkumandang. Satu per satu masjid mengumandangkan adzan hingga saling bersahutan. Kumandang adzan yang merdu, indah dan menggetarkan setiap jiwa. Burung-burung kembali ke sarangnya. Pohon-pohon terdiam seolah menangis bergetar mendengar kumandang adzan yang memberikan cahaya di Desa Sungapan Sore itu.
Pak Mahfud, Bu Martini, Zainal dan Zahra bergegas menuju ke Masjid. Masjid kurang lebih berjarak 100 meter kearah timur dari rumah Pak Mahfud. Di sepanjang jalan menuju ke Masjid berjumpa dengan tetangga dan warga sungapan yang juga berbondong-bondong menuju ke Rumah Allah. Rasa kekeluargaan dan kerukunan masih sangat terasa diantara warga Sungapan. Desa Sungapan yang Tata, Titi, Tentrem, Agamis kerta, Raharja. Semboyan itulah yang dipegang teguh oleh masyarakat yang menjadikan siapa saja bakal betah dan krasan tinggal di Desa Sungapan.
Tepat di Masjid Al-iman, iqomad dikumandangkan sholat maghrib dimulai, Simbah Kalim yang merupakan tokoh panutan sekaligus kaum menjadi imam dalam sholat berjamaah itu. Seluruh makmum meresapi dengan khusyuk setiap surrah yang dibacakan oleh Imam. Sholat maghrib pun terasa sangat khusyuk dan hikmat. Seluruh jamaah trenyuh dan tergugah hatinya akan kebesaran Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Mereka semua merasa lemah dan kecil dihadapan di hadapan Sang Khaliq. Mereka semua mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada mereka. Kesuburan yang diberikan di Desa Sungapan, Air yang tercukupi, dan tanaman padi yang sehat-sehat itu semua adalah karunia Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Tadarus Al-Qur’an bersama seusai sholat menambah ketentraman setiap jiwa diantara jiwa-jiwa yang lalai. Pohon-pohon, burung-burung dan semua makhluk ciptaan Allah SWT seraya bertadarus di dalam gelap dan dinginya desa Sungapan malam itu.
***