Hidup bukan sekedar hidup

Monday, October 8, 2018

Cerita Sederhana di Bawah Temaram, Sebuah Jurnal #3

Malam itu tenda kami benar-benar terkena ombak pasang. Ombak pasang tersebut mengenai tepat seluruh kawasan tenda kami. Di sebelah timur pantai hanya tenda kami yang terkena ombak. Tenda sebelah kami sudah mundur ke belakang dari tadi. Kami sendirian yang belum pindah. Kami percaya bahwa ombak tidak akan sampai ke tenda kami sebagaimana analisis Pak Tomo dan si Penjaga pantai. Ombak pasang tersebut mengarah ke arah timur pantai yakni tempat tenda kami berdiri. Setelah itu mengarah ke barat. Di sebelah barat ada satu tenda yang juga terkena ombak pasang.

Ketika ombak pasang menerjang tenda yang kami pikirkan adalah mengangkat tenda ke belakang. Pasalnya Carrier, ransel, pakaian dan perlengkapan kami berada di dalam tenda tersebut. Hal tersebut memang sudah kami rencanakan untuk mengumpulkan barang menjadi satu di dalam tenda. Dengan tujuan memudahkan untuk evakuasi. Namun ketika ombak menerjang kami baru saja masak di luar tepatnya di depan tenda. Barang-barang seperti kompor, nasting, matras, mie instan, kopi, bahkan Smartphone masih berada di luar.



Benar saja meskipun kami berhasil mengangkat tenda ke belakang dan hanya basah bagian teras tetapi barang kami yang berada di luar porak poranda. Setelah berhasil mengangkat tenda ke belakang kami baru teringat dengan barang di luar tenda dan berusaha mengambilnya. Namun sepertinya hal tersebut sudah terlambat matras hingga kompor tersapu ke barat terbawa ombak. Aku sempat kaget karena smartphoneku tadi kutaruh di sampingku jelas saja ikut terbawa ombak pikirku. Namun sungguh ajaib ternyata sidiq datang dengan smartphoneku di genggamannya. Ah sungguh lega smartphoneku terselamatkan. Justru smartphone Sidiq yang basah meskipun ditaruh di dalam kotak kompor namun tetap saja terkena air laut.

Dengan sigap segera Sidiq mematikan smartphone dan melepas baterai dan menaruhnya di tempat yang kering. Kembali fokus dengan barang-barang yang tersapu ombak. Kami memungutnya satu per satu. Riuh sorak pun membahana di tenda-tenda belakang kami. Bak menonton sebuah pertandingan bola dan melihat jagoannya akan mencetak goal. Dengan bantuan si penjaga pantai, Pak Tomo, dan beberapa peserta camping lain, barang-barang kami yang tersapu di temukan. Berkali-kali Pak Tomo terhuyun-huyun dari arah barat membopong matras kami dan beberapa bungkus mie instan. Sungguh luar biasa Pak Tomo ini. Tanpa beliau mungkin sudah harus mengganti matras. Maklum matras sewaan ckckck. 

Setelah barang-barang yang terseret ombak terkumpul kecuali serenteng kopi kami yang tetap tak ketemu, kami mulai beres-beres dan membersihkannya. Seperti mencuci nasting dan matras yang kotor. Beruntung disebelah kami terdapat bekas warung yang rusak terkena pasang bulan lalu. Masih menyisakan tiang-tiang yang dapat digunakan sebagai jemuran. Selanjutnya kami menata kembali barang-barang yang berada di dalam tenda. Kami masih trauma dengan ombak pasang tadi dan berfikir bisa datang pasang yang lebih besar. Dengan mengelompokan barang di tengah tenda dengan mudah kami dapat mengangkat kembali tenda menjauh.

Malam itu mengingat info dari Pak Tomo dan si penjaga pantai puncak dari pasang adalah jam 23.00 sementara saat itu baru jam 21.00 maka kami memutuskan untuk berjaga-jaga dan memantau gelombang. Karena rencana kami setelah pasang selesai kami akan kembali memindahkan tenda ketempat semula yakni maju di bibir pantai. Kami pun membagi tim menjadi dua yakni tim untuk memantau ombak dan tim untuk memasak. Aku dan Hafidh bertugas memasak sementara Ari dan Sidiq memantau ombak.

Sepanjang malam itu kami berbaring dengan matras dan pasir hingga menjelang pagi. Kami baru memindahkan tenda kami ke tempat semula menjelang pagi dengan tujuan untuk pencitraan kepada peserta camping lainnya kalau kami tak gentar dengan ombak pasang hehe. To be continued.



Share:

Friday, October 5, 2018

Cerita Sederhana di Bawah Temaram, Sebuah Jurnal #2

   Semakin malam tenda-tenda yang berdiri di belakang kami semakin banyak. Rombongan-rombongan mulai berdatangan, maklum kami termasuk golongan awal yang datang ke pantai. Alhasil suara kegaduhan suka ria muncul diantara kerumunan tenda-tenda tersebut. Ada yang sedang berusaha mendirikan tenda, ada yang menyalakan api unggun, ada yang bernyanyi bersama. Fokus kami tak lagi ke bintang-bintang yang ada di angkasa melainkan menyaksikan hiruk pikuk orang-orang di belakang tenda kami.



Tak lama setelah itu kami dikagetkan dengan deburan ombak yang terasa semakin besar entah itu hanya pikiran kami atau bagaimana yang jelas itu tak membuat kami tenang. Deburan ombak tersebut benar-benar menyita perhatian kami mengingat tenda kami berdiri di garis depan pantai. Beberapa menit sekali sorot lampu senter kami arahkan ke bibir pantai untuk melihat air laut. Rupanya tenda-tenda di belakang kami juga was-was dengan pasang air laut. Berkali-kali sorot lampu senter menyoroti bibir pantai dari tenda-tenda.

Semakin malam bibir pantai semakin tidak terlihat meskipun dengan sorot lampu senter. Alhasil kami berusaha membuat penanda sekiranya bisa memantulkan cahaya senter. Hafidh berlari ke belakang tenda untuk mencari ranting sementara Sidiq mencari benda yang bisa memantulkan cahaya. Didapatlah plastik mengkilat yang bisa memantulkan cahaya senter. Ari menuju ke bibir pantai dan menancapkan ranting sekitar 2 meter dari bibir pantai dengan unjungnya diikat plastik. Hal tersebut memudahkan kita untuk mengamati kondisi bibir pantai apabila ranting tersebut masih ada berarti masih aman.

Sesekali si penjaga pantai datang kembali untuk ikut mengawasi bibir pantai untuk mengantisipasi apabila terjadi pasang. Menurutnya lokasi tenda kami masih aman dan tidak akan sampai apabila terjadi pasang. Hal tersebut dengan melihat riwayat pasang malam sebelumnya yang masih jauh dari tempat kami mendirikan tenda.

Demikian juga bapak penjaga toilet yang paling dekat dengan tenda kami sebut saja Bapak Tomo. Bapk Tomo ikut menenangkan kami “Tenang saja gak akan kena ombak, masih jauh kok” begitu analisis Bapak Tomo yang kemudian beralih untuk ngobrol dengan topik lain. Menurut Bapak Tomo pantai Greweng ini kalau musim penghujan berupa sungai dari hulu sehingga pantainya terbelah. Sehingga pada musim penghujan lokasi untuk ngecamp hanya berada di sebelah timur. Beruntung kami datang pada musim kemarau jadi sangat terasa luas hamparan pasir putih nan halusnya.

Semakin larut malam kami mulai terasa lapar. Nasi rames yang kami makan tadi sore rupanya belum membuat kami kenyang. Maklum nasi beli di pasar dekat pantai sehingga beda dengan porsi kami di rumah hehehe. Kami berinisiasi untuk membuat mie goreng. Kompor kembali kami nyalakan, memulai dengan merebus air. Sembari menunggu air mendidih aku mempersiapkan 4 mie goreng namun belum aku buka kemasannya. Sementara ari tetap mengamati bibir pantai dengan lampu senternya. Semenjak penjelasan dari Pak Tomo dan si penjaga pantai aku mulai tenang dan tak agi risau dengan kondisi bibir pantai. Kali ini aku duduk menghadap kompor dan membelakangi pantai. Sementara Hafidh dan Sidiq di sampingku.

Ketika aku sedang mengamati air di atas kompor untuk menanti mendidih tiba-tiba Ari memberi tanda bahwa air semakin mendekat. Ranting penanda di bibir pantai yang kami pasang sudah hanyut terkena ombak. Ari semakin yakin bahwa tenda kita akan terkena ombak pasang apabila tidak segera pindah. Namun kami tetap percaya analisis Pak Tomo dan si penjaga penjaga pantai. Merekakan sudah setiap hari di pantai jadi lebih tahu kondisi pantai begitu Hafidh menimpali. Sementari aku tidak begitu tertarik lagi dengan kondisi bibir pantai dan tetap mengamati air ketika mendidih di atas kompor.

Tak lama kemudian Ari kembali berteriak. Kali ini lebih keras dan sambil lari ke arah tenda. Aku toleh kebelakan dan ombak telah sampai kurang dari semeter di belakang tempatku duduk. Seketika bruuuusssssssss. Aku lari ke arah tenda dan yang ku pikirkan hanya mengangkat tenda dan membawanya mundur ke belakang. To be Continued
Share:

Wednesday, October 3, 2018

Cerita Sederhana di Bawah Temaram, Sebuah jurnal #1

Akhir-akhir ini aku suka berpetualang di alam. Tenang, sunyi, segarnya alam menjadi daya tarik bagiku. Kali ini aku akan membagikan ceritaku saat nge-camp di pantai. Kegiatan nge-camp sebelumnya aku lakukan di gunung. Hal ini pertama kali aku lakukan. Waktu itu ada ajakan dari salah satu kawan Ari namanya untuk nge-camp di pantai. Pantai antonim dari gunung. Menarik bukan. Aku iyakan saja ajakan itu.

Setelah beberapa kali ditunda akhirnya kami mendapat tanggal yang pas untuk melakukan kegiatan. Maklum kali ini tak lagi seperti dulu yang selalu punya waktu sama. Saat ini karena kesibukan masing-masing menentukan waktu menjadi hal yang sulit. Tak hanya Ari aku juga bersama dua kawanku Hafidh dan Sidiq. Sabtu, 28 September 2018 waktu yang pas untuk kami nge-camp.

Terdapat beberapa pantai favorit untuk nge-camp di Jogja. Tentu saja pantai-pantai di Gunung Kidul. Selain pasir putih dan bebatuan karang. Pantai-pantai yang belum banyak terjamah manusia menjadi daya tarik. Tentunya suasana alami alam masih kental terasa. Hal itu terdapat hampir disemua pantai di Gunung Kidul.
Semakin sepi dan belum terjamah banyak manusia tentunya semakin menarik pantai tersebut. Setelah kami cari referensi mengenai pantai-pantai yang dirasa pas, Akhirnya Pantai Greweng menjadi pilihan kami. Pantai yang terletak di desa Jepitu, kecamatan Girisubo, Kabupaten Gunung Kidul. Lebih tepatnya berada di antara Pantai Wediombo dan Pantai Jungwok.
Rencananya kami nge-camp hari Jumat, 27 September 2018, tetapi karena salah satu kawan kami Ari ada pekerjaan mendadak terpaksa diundur satu hari. Pada sabtu, 28 September 2018 akhirnya terlaksana. Kami berangkat dari jogja pukul 14.00 wib karena pagi harinya aku harus menghadiri acara wisuda kawan kuliahku.
Perjalanan menuju lokasi sekitar 2 jam lebih 30 menit dari kota Jogja dan melalui jalan utama kota Wonosari. Namun kami lebih memilih melalui jalur selatan yakni melalui Imogiri Bantul, Panggang dan seterusnya mengikuti sepanjang pantai di Gunung Kidul. Perjalanan melalui jalur selatan ternyata lebih lama yakni memerlukan waktu sekitar 3 jam 30 menit. Hal ini disebabkan jalur selatan yang berkelok-kelok. Namun tenang saja jalan yang dilalui cukup bagus namun kekurangannya cuma waktu tempuh yang lebih lama.
Diperjalanan kami sempat mampir ke toko kelontong di pinggir jalan untuk membeli bekal makanan dan minuman. Kami pikir di sana tidak ada warung penjual makanan. Kami sampai di lokasi pantai Greweng sesaat setelah matahari tenggelam. Sudah terasa gelap. Kami pun hanya bisa sampai di pintu masuk Pantai Wediombo yang berjarak kurang lebih ditempuh dengan jalan kaki memerlukan waktu 20 menit. Lumayan jauh memang. Hal ini karena akses menuju ke Pantai Greweng hanya bisa dilalui dengan jalan kaki melewati ladang pertanian. Menarik bukan.
Oya untuk ke Pantai Greweng kami harus membayar Retribusi di TPR Rp 20.000 untuk 4 orang. Selanjutnya kami menitipkan sepeda motor dengan tarif Rp 5.000 per motor. Jalan yang kami lalui menuju ke pantai berupa jalan setapak yang mana di kanan dan kiri merupakan ladang pertanian. Sepanjang jalan yang kami lalui, kami berjumpa dengan beberapa orang. Rupanya mereka baru saja dari pantai dan hendak pulang.


Setelah 20 menit berjalan langkah kaki kami menginjak pasir halus nan putih. Sejauh mata memandang hamparan pasir putih dan halus terlihat. Ditambah suasana mulai gelap menambah suasana yang nyaman. Ketika kami sampai di pantai baru terdapat 2 tenda yang berdiri. Kami pun segera menentukan tempat yang pas untuk mendirikan tenda. Kami memilih hamparan pasir sebelah kiri dan berada di garis terdepan bibir pantai. Dengan harapan bisa melihat view dan suara deburan ombak pantai dari dekat. Sementara tenda-tenda yang lain berdiri di belakang tenda kami.
Setelah tenda berdiri kami berbagi tugas untuk memasak air dan bergantian cuci muka serta beribadah. Setelah itu segelas kopi menemani kami menyeduh indahnya temaram malam dan suara deburan ombak. Menggelar dua matras untuk berempat. Lampu lentera yang tergantung di depan tenda. Alunan musik “Aku tenang” dari Fourtwenty menambah kehangatan kami dikala menyantap nasi rames yang kami beli di pasar Jepitu. Oh sebuah suasana yang kami lakukan terakhir kali 10 tahun yang lalu dalam sebuah perkemahan Sekolah Menengah Pertama tepatnya tahun 2008. Sungguh suatu anugrah luar biasa kita bisa bermalam dihamparan pasir halus nan putih.
Tiada api unggun api paravin pun jadi. Kami tidak bawa kayu bakar dan alas bakar untuk membuat api unggun. Untung saja Ari bawa paravin dan tungkunya. Langsung saja kami bakar dan ah benar saja meskipun tak sebesar api unggun 10 tahun yang lalu namun ini cukup untuk menciptakan suasana yang kembali sama.
Masih di atas matras yang sama. Kali ini kami berbaring berjajar memandang langit yang sama, memandang bintang yang sama, dan sesekali menemukan gambar rasi bintang yang kami pelajari sewaktu sekolah dasar dahulu. Ada rasi bintang layang-layang, waluku, kalajengking, dll. Ah semakin malam bintang semakin banyak begitupun dengan deburan ombak yang terasa semakin deras. Di bawah timbunan pasir putih nan halus kaki kami merasakan hangatnya malam. Nostalgia masa lalu saat berseragam biru putih menjadi cerita utama.
Hingga akhirnya si penjaga pantai memberi arahan tentang ombak pasang yang akan datang. Fiuh begitu taktis dan tepat si penjaga pantai mengabarkan titik ombak yang akan datang. Luar biasa memang. Tenda kami dinilai aman tidak akan terkena pasang. Ombak pasang akan sampai sekitar 1 meter di depan tenda kami begitu pemaparan si penjaga pantai. Kami pun kembali berbaring memandang rasi bintang dan berselimut hangat pasir meski kami tidak tahu apa yang akan terjadi. To be Continued....

***
Share: