Hidup bukan sekedar hidup

Tuesday, July 9, 2019

Trade-off Kurva Mantan

*Sebuah Padepokan Akhir 2017
Avro melangkah gontai di sebuah lorong. Pandangan matanya lurus ke depan. Setumpuk kertas copy-an digenggaman tangan berisi teori penunjang tugas akhir. Ia baru saja selesai kelas studi batin. Segera menuju ruang Suhu. Bertemu Pak Pilips, Suhu pembimbing tugas akhir. Seorang Suhu dengan gaya nyentrik rambut klimis.

Suhu yang ia cari tak ada di ruangan. Lagi-lagi ia harus menunggu. Tiga kursi kayu terletak  di depan ruang Suhu. Sepertinya memang disediakan bagi para pendekar yang sedang menanti kehadiran Suhu. Sejenak, Avro mengamati ketiga kursi kayu tersebut. Dua kursi yang nampak kuat terletak berdekatan. Sementara satu kursi nampak usang dan rapuh terletak agak jauh. Avro memilih duduk di kursi usang dan rapuh. Entah mengapa Avro merasa iba dengan kursi usang dan tua itu. Sebab sudah kerja semesta, jiwa yang rapuh akan saling iba.

Lalu-lalang para pendekar melintas. Ia tetap merasa sepi. Maklum saja mereka adalah pendekar adik tingkat Avro. Sementara pendekar seperjuangan Avro sudah sibuk dengan urusan pribadi. Jangankan pendekar seperjuangan, Mantan kekasih Avro, Avri saja sibuk dengan urusannya. Lebih menyesakan dada, Avri ditemani Sang Pendekar yang lebih Gagah dibanding Avro. Uhhh ciut mengkerut semakin sesak terasa dada Avro. Ia tak yakin sanggup melewati rintangan yang diberikan para Suhu.

Masih di kursi usang di depan ruang Suhu, Avro memalingkan pikirannya pada kertas berisi teori. Melawan rasa kalutnya ia perlahan mengejanya.

"Trade-off Kurva....."  Matanya sedikit kabur. Ia berusaha melebarkan matanya.

"Trade-off Kurva Mantan." Teori macam apa ini! Avro tak percaya dengan teori yang ia bawa.

Dengan rasa penasaran ia melanjutkan membaca.

"Ketika tingkat ambisi naik, maka tingkat ketertarikan akan turun." Uhh teori macam apa ini. Avro tak percaya. Ia berkali-kali membolak-balik kertas teorinya. Ia berusaha agar fokus dengan tugas akhirnya. Namun bayangan Avri dan segala kenangan terus menghantuinya.

Alhasil seringkali ia menjadi bulan-bulanan Suhu pembimbingnya karena teori-teori yang ia bawa sama sekali tak berkorelasi dengan tugas akhirnya. 

Sementara Avri diseberang kisah lainnya ditemani pendekar menyambut mimpi-mimpi barunya. Ia berhasil lulus dari padepokan. Sebuah padepokan yang hampir sepertiganya dilalui bersama Avro, meski diujung kisahnya tokoh bernama Avro menghilang bak mati di medan perang.

Jangankan mengucapkan selamat, mengucapkan sapa saja Avro tak sudi. Avro benar-benar benci. Ia benci kepada segala hal, kecuali Avri. Ia benci kepada semesta yang telah mengerjai dan membully.

Avro yakin dan sanggup menerima bahwa Tuhan menciptakan segalanya berdua tidak sendiri. Siang dan malam Avro tak takut menghadapinya. Panas dan dingin Avro tak takut menghadapinya. Berhasil dan gagal Avro tak takut menghadapinya.

Namun kali ini, persatuan dan perpisahan, Avro tak sanggup menghadapinya. Jiwanya linglung pikirannya meracau. Ia jatuh ke lembah paling dasar.

***
*Awal 2018 di Sebuah Padepokan
Sebuah awal tahun menjadi energi semangat bagi Avro. Dengan tekad dan niat yang kuat ia berjanji akan mengakhiri segala urusannya di padepokan. Ia lebih semangat meramu teori-teori yang akan ia olah untuk tugas akhirnya. Ruang Suhu menjadi tempat tak asing baginya. Menunggu sendirian, berjalan sendirian sudah menjadi ciri khas pendekar angkatan tua.

Rutinitas menyelesaikan tugas akhirnya kadang membuatnya bosan. Tak ayal kegiatan lain sering ia lakukan. Berkelana menjadi kegiatan paling menarik baginya. Semenjak kisahnya bersama Avri usai, ia menjadi penikmat sepi dan sunyi. Baginya sepi dan sunyi adalah teman curhat yang paling nyaman.

Hati menjadi tenang dipeluk sepi. Gundah pudar dibekap sunyi. Perlahan ia mencari arah yang sempat hilang karena kisah. Sesekali ia bertasbih kepada Tuhan. Oh Tuhan, Engkau memang perangkai kisah. Sungguh tiada kisah yang lebih melainkan kisah yang Engkau rangkai.

Ia bangkit menjadi pendekar seperti sediakala. Langkahnya tak lagi gontai. Langkahnya tegap menatap lorong semesta. Ia pungut segala teori. Pada rumput, pada tanah, pada batu, pada udara, pada cahaya, pada langit, dan semua unsur yang menjadi penanda senja dan pagi.

Ia berjalan menuju ruang Suhu tak lagi gentar. Segala sayatan dan sabetan pedang Suhu tak lagi menggoyahkan. Berkali-kali sabetan dan sayatan, berkali-kali ia berdiri. Ujung tombak kisahnya di padepokan semakin runcing. Semakin ia sampai di ujung.

Ia sanggup meyakinkan teori kepada para Suhu yang semula meragu. Sebuah teori yang semula telihat menye ia lantangkan menjadi teori memukau para Suhu. "Trade-off Kurva Mantan" sebuah teori yang ia temu dari pustaka-pustaka semesta telah menjadikannya pendekar yang ulung. Teori yang ia pungut dari rumput, batu, tanah dan langit. Telah mengubah jiwanya menjadi lantang.

Kamus kisah dengan Avri tak lagi menjadi buku utama bacaan Avro. Semenjak perjalanan berkelana, ia menemukan buku-buku yang telah membuka mata seluas cakrawala. Memupuk jiwanya setegar jalur pendakian. Hingga ia mampu menyudahi kisahnya di padepokan dengan gagah perkasa meski seorang diri.
***
*Beberapa purnama setelah kelulusan
Avro telah menjadi pendekar yang sesungguhnya. Bukit demi bukit telah ia lalui dengan mesra. Ia bercumbu dengan semesta. Hingga membuat permaisuri-permaisuri di negeri seberang cemburu menggerus dada.

Sementara Avri kembali menyapa. Menanyakan kisah yang telah usang di padepokan. Terlihat basa-basi semata, juga terasa menyayat dada.

Namun Avro sekarang tidak mudah lagi disayat. Jiwa pendekarnya telah bulat. Ia tak lagi berjalan gontai. Ia menatap tajam ke depan tepat di kerumunan permaisuri-permaisuri negeri seberang yang juga menatap dengan penuh pesona.



Lembah Kehidupan, 7 Purnama setelah kelulusan
Sebuah catatan kisah
Avro Sang Pendekar
Share:

Monday, May 13, 2019

GERPOLEK: Tan Malaka, Resensi Buku

Resensi buku
Judul buku: GERPOLEK
Pengarang: Tan Malaka
Penerbit: Narasi
Cetakan pertama 2018
ISBN 979-168-547-9
Tebal buku: 140 hlm, 14 x 20 cm

Tan Malaka sangat merisaukan makin menciutnya wilayah Republik dengan berdirinya negara boneka bentukan Belanda. Sementara kaum kapitalis, kolonialis, dan imperialis berhasil mengacaukan perekonomian dan keuangan Republik Indonesia. Karena itu Tan Malaka tidak mengenal kompromi dengan kekuatan kolonialisme dan imperialisme. Ia tidak menyetujui perundingan dengan lawan. Ia menganggap berunding adalah sikap mengorbankan kedaulatan dan kemerdekaan rakyat.

Gerpolek merupakan buku yang dikonsep dan ditulis oleh Tan Malaka ketika dirinya meringkuk di penjara Madiun. Buku ini ditulis tanpa dukungan informasi kepustakaan apapun. Ia hanya mengandalkan pengetahuan, ingatan, dan semangat kepemimpinan untuk tetap memikirkan kelangsungan Republik tercinta. 

Kini di zaman modern kata "merdeka" seperti telah tergerus dalam pengertian yang semu. Campur tangan pihak asing dan kepentingan pribadi telah mengalahkan semangat proklamasi. Karena itu tulisan ini masih relevan untuk disimak. Melalui karya besarnya ini, Tan Malaka menyatakan sikapnya tentang politik dan ekonomi yang bebas dan merdeka.

Menurut Tan Malaka Gerpolek adalah senjata Sang Gerilya buat membalas Proklamasi 17 Agustus dan melaksanakan kemerdekaan 100% yang sekarang sudah merosot ke bawah 10%. Sementara Sang Gerilya adalah seorang putra atau putri, seorang pemuda atau pemudi, seorang Murba atau Murbi Indonesia, yang taat dan setia kepada Proklamasi dan kemerdekaan 100% dengan menghancur-leburkan siapa saja yang memusuhi Proklamasi serta kemerdekaan 100%.

Dalam buku ini tiga pokok bahasan menjadi inti dari buku ini yakni perang gerilya, politik, dan ekonomi. Perang Gerilya tertuang dalam bab xi, perang politik-diplomat tertuang dalam bab xii, serta perang ekonomi tertuangg dalam bab xiii.

Kelebihan buku ini memuat strategi dan sikap seorang Tan Malaka yang sangat idealis dalam gerilya, politik dan ekonomi. Sementara kekurangan buku ini ditulis tanpa literature kepustakaan yang cukup mengingat buku ini ditulis seorang Tan Malaka sendiri di dalam Penjara Madiun.
Share:

Thursday, March 21, 2019

Tahta

Tahta
Kursi bukan sekedar kursi
Tempat bergantung mimpi
Hajat jutaan rakyat mengisi
Bersiap menagih janji

Tahta
Tak sedikit mengaku pewaris
Segala cara mengadu nasib
Benar salah bukan lagi semesta
Melainkan pemilik petak

Tahta
Sebaik-baiknya
Sehormat-hormatnya
Tidak menjadikan
Kemanusiaan sebagai biaya

Filsufpejalan
#HariPuisiSedunia
Share:

Thursday, March 7, 2019

Aksi Massa : Tan Malaka, Resensi buku

Resensi buku
Judul buku: Aksi Massa
Pengarang: Tan Malaka
Penerbit: Narasi
Cetakan pertama 2018
ISBN 979-168-549-5
Tebal buku: 148 hlm, 14,5 x 21 cm
Oleh Sapta Hamdallah Putra


Pemikiran Tan yakni upaya perebutan kekuasaan dengan radikal (putch) bukanlah solusi terbaik. Menurutnya Putch adalah satu aksi segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak. Gerombolan itu bisanya hanya membuat rancangan menurut kemauan dan kecakapan sendiri tanpa memedulikan perasaan dan kesanggupan massa. Tukang-tukang putch lupa bahwa revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil berbagai macam keadaan. 

Bila tukang-tukang putch pada waktu yang telah ditentukan oleh mereka sendiri, keluar tiba-tiba, massa tidak akan memberikan pertolongan kepada mereka. Bukan karena masa bodoh atau tidak memperhatikan, melainkan karena massa hanya berjuang untuk kebutuhan yang terdekat dan sesuai dengan kepentingan ekonomi.

Agar sebuah gerakan dapat mencapai tujuannya, Tan menawarkan Aksi Massa sebagai solusinya. Karena Aksi Massa tidak mengenal fantasi kosong seorang tukang putch atau seorang anarkis atau tindakan berani dari seorang pahlawan. Aksi massa berasal dari orang banyak untuk memenuhi kehendak ekonomi dan politik mereka.

Dengan alasan inilah Tan Malaka menolak rencana pemberontakan Partai Komunikasi Indonesia (PKI) 18 Juni 1926 yang dinilainya terlalu sembrono dan sama sekali tidak mempertimbangkan dasar-dasar aksi massa. Terbukti kemudian pemberontakan itu gagal. Banyak pemimpin PKI yang ditangkap dan dibunuh. Buku ini ditulis oleh Tan Malaka pada sekitar tahun 1926, saat ia meloloskan diri dari Indonesia dan masuk ke Singapura dengan menggunakan nama Hasan Gozali. 

Buku ini memaparkan mengenai revolusi yang menurut Tan, revolusi itu bukanlah ide yang luar biasa dan istimewa serta bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat. Atau dalam kata-kata yang dinamis ia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan yang timbul dari pertentangan kelas yang kian hari kian tajam. Tujuan sebuah revolusi ialah menentukan kelas mana yang akan memegang kekuasaan negeri, politik, dan ekonomi, dan revolusi itu dijalankan dengan "kekerasan".

Tan juga memaparkan riwayat Indonesia. Menurutnya riwayat Indonesia tak mudah dibaca apalagi dituliskan. Riwayat negeri kita penuh dengan kesaktian, dongeng-dongeng, karangan-karangan dan pertentangan. Tak ada seorangpun ahli riwayat dari kerajaan Majapahit atau Mataram yang mempunyai persamaan dengan ahli riwayat bangsa Roma kira-kira di zaman 1400 tahun yang silam, seperti Tacitus dan Caesar. Kita terpaksa mengakui bahwa kita tak pernah mengenal ahli riwayat yang jujur.

Selain itu Tan juga memaparkan bagaimana Imperialisme, Kapitalisme dan Keadaan Sosial di Indonesia. Menurutnya hubungan antara bumiputera dengan pemerintah kolonial kala itu bumiputera sebagai buruh sementara kolonial sebagai kapital. Hal ini terlihat tidak ada satupun pemodal dari kalangan bumiputera. Hal ini menyebabkan pertentangan kelas yang tajam yang mana akan menyebabkan perawanan dari bangsa Indonesia. Sementara keadaan sosial saat itu jelas bangsa Indonesia sebagai buruh diperas demi keuntungan kolonial. Penderitaan rakyat dirasakan semakin hari semakin kejam.

Tan juga memaparkan alat-alat yang digunakan untuk revolusi serta gerakan kemerdekaan Indonesia kala itu. Menurutnya Partai Borjuis di Indonesia seperti Budi Utomo, PNI, dan SI mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena kapital besar bumi putera tidak ada sehingga program nasional dan organisasi mereka sebagai partai borjuis tak tahan hidup.

Tan juga memaparkan konsep Federasi Republik Indonesia. Menurutnya kita tidak boleh aksi kita hanya sebatas pada kemerdekaan bangsa Indonesia yang terhindar oleh imperialisme Belanda. Pembatasan seperti itu akan segera menyempitkan kita dalam arti ekonomi, strategi dan politik.

Kelebihan buku ini yakni buku ini dapat memberikan latar belakang permasalahan yang dialami bangsa Indonesia dan sekaligus memberikan konsep akan sebuah negara. Dengan membaca buku ini kita seolah berkonsultasi langsung dengan seorang konseptor yang akan membuat kita berdecak kagum.


Share:

Saturday, February 23, 2019

Pesan Singkat dari Sely

Secangkir kopi panas berubah menjadi dingin. Di samping laptop belum juga disentuh. Screen laptop melamun tanpa perintah. Seekor semut melintas dengan tenang di atas keyboard. Kipas angin di atas jendela tepat di depan meja belajar berderu pelan. Sadam duduk melamun dengan pikiran kosong. Menatap jendela dengan view kota Hongkong penuh gemerlap. Bunyi ambulan lewat, bunyi sirine mobil patroli polisi luput dari daun telinga. Kembang api di sudut kanan kiri kota terlewat dari tangkapan lensa mata. Kedua tangan menyatu di atas meja, tubuh Sadam berada di Hongkong tapi pikiran berkelana di kampung halaman, Bantul.
Di atas kasur tepat di belakang Sadam duduk, layar gawai berkali-kali menyala. Tanpa suara dengan mode silent hanya menampilkan segaris cahaya. Cahaya dari kampung halamannya yang sudah berubah menjadi sinyal digital berjalan puluhan kilometer hingga sampai di Hongkong. Seekor semut kembali lewat di atas keyboard dengan screen yang masih melamun tanpa perintah. Sadam masih termangu. Ia baru saja sampai di rumah sewa tempat tinggalnya di Hongkong. Ia baru saja kembali dari Bandara Hongkong International Airport. Ia letakan koper bersama dompet dan tiket pesawat Hongkong-Jakarta di samping kasur. Ia urungkan niat untuk terbang ke tanah air.
***
Sementara di seberang benua. Berpuluh kilometer jauhnya. Sely mematikan gawainya. Memasukannya ke dalam tas. Berkali-kali ia menghubungi seseorang tapi tidak bisa meski sempat pesan SMS nya terkirim.

"Say, gimana menurutmu?" mas Bambang bertanya kepada Sely sembari melihat beberapa crew wedding organizer yang sedang menyiapkan tempat pernikahan.

"Hei say, gimana menurutmu?" mas Bambang mengulangi pertanyaannya. Melihat sely masih melamun.

"Oh iya mas bentar." Sely terbangun dari lamunannya dan segera memasukan gawainya ke dalam tas.

"Lumayan deh mas. Bagus." Sely ikut melihat dekorasi tempat pengantin dan berusaha menanggapi mas Bambang.

"Kamu kenapa Sely? kok kaya kurang semangat gitu." mas Bambang kembali bertanya. Kali ini dengan menyebut namanya tidak menggunakan panggilan sayangnya.

"hei sel? hei?" mas Bambang menyadari nampaknya pikiran Sely berada ditempat lain.

"Oh iya mas maaf." Sely berusaha menutupi kegelisahannya dihadapan mas Bambang.

"Aku kurang enak badan mas. Maaf ya mas. Akhir-akhir ini aku susah tidur." Lanjut Sely.

"Oh begitu. Wajar Say. Setiap orang pasti bercampur aduk setiap kali mendekati hari pernikahannya. Sudah, yang penting setelah ini kamu istirahat biar besok pagi kamu tampil segar. Besok kan hari pernikahan kita." mas Bambang berusaha menenangkan Sely.

"Sely tersenyum manis."

"Sudah yuk! Saya antar kamu ke rumah dan segeralah istirahat." Ajak mas Bambang sembari menggandeng Sely.

"Iya mas." Sely kembali tersenyum manis.

Kaki mereka melangkah keluar gedung balai desa tempat digelarnya pernikahan esok hari. Pak Pardi penjaga gedung balai desa duduk di depan pintu mengucapkan selamat malam dan tersenyum kepada mas Bambang dan Sely. Senyum dan salam balasan keluar dari mas Bambang dan Sely. Mereka segera menuju ke mobil yang diparkir tepat berada di depan gedung balai desa.
Mas Bambang membukakan pintu mobil untuk Sely. Menyalakan mesin mobil. Menutup semua kaca mobil. Memacu mobil dan perlahan meninggalkan gedung balai desa. Waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam. Mas Bambang bertanya kepada Sely apakah langsung pulang atau mau makan dulu. Sely dengan rasa terimakasih meminta untuk diantar pulang saja.
Sepanjang perjalanan mereka lebih banyak diam. Sely dengan pikiran entah kemana. Menatap kaca mobil keluar dan sesekali memejamkan mata seolah kecapekan. Mas Bambang fokus dengan kemudinya dan berpikir Sely sudah kecapekan dan berharap segera sampai rumah dan istirahat.
Tepat pukul 21.15 wib mereka sampai di rumah Sely. Mas Bambang membukakan pintu mobil untuk Sely.

"Makasih ya mas." Ucap Sely dengan senyum manis.

"Iya Say, kamu segera tidur, istirahat dan sampai jumpa esok hari. Jangan lupa berias yang cantik." Ucap mas Bambang dengan diakhiri kecupan di kening Sely.

"Iya mas. Aku akan segera istirahat. Selamat malam mas." Sely tak lupa melemparkan senyum manis dan segera menuju ke dalam rumahnya.

Tepat sesaat di depan pintu Sely memalingkan badannya ke belakang. Ia melambaikan tangan dan senyuman kepada mas Bambang. Mas Bambang membalas lambaian tangan Sely dan segera masuk ke dalam mobil. Memacu mobil meninggalkan rumah Sely.
Sely masuk ke dalam rumah dan tak lupa mengunci pintunya. Sely langsung menuju ke kamarnya. Pak Dakir dan Bu Jumanah orangtua Sely sudah tertidur di kamar. Maklum sudah larut malam dan esok pagi mereka harus bangun pagi-pagi untuk menikahkan anaknya. Sely meletakan tasnya di atas kasur. Ia lepas sepatunya dan meletakan di atas rak depan kamarnya. Ia segara menuju ke kamar mandi untuk cuci kaki dan membersihkan muka. Sebuah rutinitas yang dilakukan Sely setiap malam sebelum tidur.
***
Sadam jauh di Hongkong, merebahkan badannya di atas kasur. Masih dengan jaket dan syal yang belum terlepas. Sepatu dan celana panjang jeans juga masih ia kenakan. Gawai di atas kasur tepat di bawah kaki Sadam juga belum ia sentuh semenjak ia letakan di atas kasur sehabis dari bandara. Kipas angin di atas jendela masih berderu pelan. Jendela kaca masih terbuka. Laptop masih menyala menampilkan wallpaper tanpa perintah.  Secangkir kopi panas juga belum tersentuh hingga sudah sangat dingin akibat suhu malam kota Hongkong. Segerombolan semut kali ini melintas di atas keyboard  rupanya menuju ke secangkir kopi manis untuk menyedunya. Cangkir kopi kali ini dipenuhi dengan gerombolan semut.
Sadam terlentang menerawang angkasa. Pandangannya terhalang oleh atap rumah sewa namun pikiran jauh berkelana. Menembus angkasa terbang puluhan kilometer dan mendarat di kampung halamannya. Ia tahu esok hari Sely akan menikah.
Sejak ia menerima kabar pesan singkat dari Sely saat ia berada di antrian boarding pass Bandara Hongkong International Airport, ia kaget bukan kepalang. Hatinya berguguran runtuh. Lututnya seketika terasa lunglai. Tepat saat ia dipanggil petugas boarding pass, ia mantap mengurungkan niatnya untuk pulang ke tanah air. Tiket yang ia beli dari mengumpulkan gajinya bekerja sebagai TKI tak ia hiraukan. Pikirannya berkecamuk. Ia segera masuk ke taxi bandara dan segera meminta sopir untuk mengantarkan ke rumah sewa tempat ia tinggal.
Sore itu hari semakin gelap sepanjang perjalanan Sadam hanya melamun. Pikirannya melayang. Hatinya hancur lebur. Beberapa kali pak sopir taxi mengajak bicara Sadam. Namun ternyata Sadam tak mendengar. Sadam tak habis pikir dengan keputusan yang diambil Sely. Empat tahun yang lalu semenjak mereka lulus SMA mereka sudah berjanji akan saling menanti. Masih teringat jelas di benak Sadam ketika Sely mengantarkan di Bandara Adisucipto ketika hendak berangkat kerja di Hongkong.
***
Pagi itu tepat pukul 09.00 wib Sadam bersama kedua orangtuanya Pak Harjo dan Bu Zainab duduk di ruang tunggu Bandara Adisucipto menunggu pesawat yang akan membawa Sadam ke Hongkong. Saat itu 5 bulan setelah Sadam lulus SMA, Sadam memutuskan untuk bekerja di Hongkong. Sementara Sely memilih kuliah. Kisah asmara mereka yang sudah terjalin semenjak SMA harus terpaksa dipisahkan jarak Indonesia-Hongkong.
Pukul 9.15 wib Sely terhuyung-huyung datang ke bandara menyusul Sadam. Begitu keluar dari taxi Sely langsung berlari menuju ke ruang tunggu berharap masih sempat bertemu dengan Sadam. Ia menyusuri tempat tunggu bandara. Ia mencoba menghubungi Sadam. Akhirnya mereka dapat berjumpa. 30 menit lagi pesawat Sadam harus take-off.

“Bu, Pak.” Sely menyapa orangtua Sadam sambil berjabat tangan.

“Iya nak. Silahkan.” Pak Harjo tersenyum sambil mempersilahkan Sely ngobrol dengan Sadam. Sementara Bu Zainab hanya tersenyum.

“Dam...” Sely menghentikan kalimatnya. Matanya berkaca-kaca. Ia menundukan kepala tak kuat memandang Sadam.

“Hati-hati ya di Hongkong” Kali ini ia sekuat tenaga memandang mata Sadam. Air matanya tak tertahan lagi. Jatuh dipelukan Sadam.

“Iya Sel, aku pasti jaga diri baik-baik.” Sadam masih memeluk Sely. Berbisik di telinga Sely. Dengan suara parau ia mencoba kuat.

 “Begitu juga dengan kamu ya. Baik-baik di Indonesia.” Sadam melanjutkan kalimatnya. Kali ini mereka saling bertatapan. Sadam berkaca-kaca.

“Dam...” Sely kembali berkata dengan sedikit lebih tegar.

“Aku akan selalu menunggumu, Dam. Sampai kapanpun” Lanjut Sely dengan senyum penuh harap.

“Iya Sel, Aku akan datang untukmu. Tepat pada waktunya.” Sadam menatap Sely penuh dengan kasih.

“Kita akan hidup bersama.” Sadam menutup obrolan dengan ciuman dikening Sely.

Jam tangan Sadam menunjukan pukul 09.35 wib. Ia harus segera masuk. 10 menit lagi pesawatnya ke Hongkong tiba. Ia mencium kedua tangan orangtuanya dan segera masuk ke ruang boarding pass. Dari kejauhan Sely belum berpaling. Mengamati langkah kaki Sadam yang perlahan menghilang terhalang dinding.
Pak Harjo dan Bu Zainab meninggalkan bandara dengan menaiki taxi menuju ke rumah di Bantul. Sementara Sely masih termangu duduk di ruang bandara. Ia masih ingin memastikan pesawat Sadam take-off.  Tepat pukul 09.45 wib pesawat Sadam berhasil take-off. Sely berdoa dalam hati sambil memegang fotonya bersama Sadam sewaktu dikelas dahulu.


“Ya Allah Aku serahkan semua kepadamu. Jaga hati kami. Hilangkanlah gelisah diantara kami. Kuatkanlah kami. Persatukanlah kami suatu hari nanti.” Sely mengusap air matanya yang kembali menetes. Memasukan foto mereka ke dalam diarynya dan segera beranjak meninggalkan bandara.
***
“You have arrived Sir.” Pak sopir membangunkan Sadam dari lamunan. Taxi berhenti di depan rumah sewa Marlboro Hostel. Terletak di Paterson Street, Paterson Building, Causeway Bay.

“Thank you very much Sir.” Sadam mengulurkan uang ongkos taxi. Keluar membuka pintu taxi.

“Your welcome.” Pak sopir membunyikan klakson taxi dan segera memacu meninggalkan Sadam berdiri di depan Marlboro Hostel.

Sadam memperhatikan sejenak laju taxi dan beralih melihat sekeliling jalanan. Ia lalu masuk ke dalam hostel. Ia menuju ke kamar paling pojok lantai 2 Marlboro Hostel. Ia letakan Koper di samping kasur. Ia menuju dapur membuat secangkir kopi panas. Kembali masuk ke dalam kamar. Meletakan kopi panas di samping laptop dan menyalakan laptop lalu melamun.
Jam dinding tergantung tepat di depan kasur menunjukan pukul 23.00 waktu Hongkong sementara di Indonesia pukul 22.00 wib. Sudah 45 menit Sadam terdiam melamun di atas mejanya mengahadap jendela. Ia lalu pindah berbaring di atas kasur. Menerawang langit dengan pikiran melayang-layang tak karuan. Hatinya hancur lebur. Harapannya pupus sudah untuk menikah dengan kekasihnya, Sely. Badannya lemas tanpa gairah. Seolah sangat lelah. Ingin ia tidur tapi tak bisa tidur. Berkali-kali ia pindah bolak balik kasur dan laptopnya. Namun ia tak melakukan apa-apa. Ia mondar-mandir.
Jam dindingnya sudah menunjukan 01.00 waktu Hongkong. Ia tak juga kunjung tidur. Sudah hampir 2 jam lebih ia mondar-mandir. Ia memutuskan keluar mencari angin malam. Di kamar terasa sangat suntuk. Ia memutuskan untuk pergi ke kedai kopi Sensei. Kedai kopi milik seorang lelaki Hongkong yang ia kenal setahun setelah ia tinggal di Hongkong dan bekerja di percetakan surat kabar setempat. Mereka ketemu di Victoria Park. Saat itu Sensei sedang membuka kedai kopi saat terdapat pertunjukan musik. Sementara Sadam menjadi pelanggannya saat liburan di Victoria Park.
Sensei seorang lelaki Hongkong yang berperawakan kecil dengan muka murah senyum dan sangat ramah. Ia mudah bergaul dengan pelanggannya. Tak jarang banyak pelanggannya menjadi temannya sendiri. Kedai kopi Sensei dengan nama “Naughty Coffe” terletak di samping Marlboro Hostel tepatnya 3 gedung setelahnya.
Sadam keluar Hostel. Melangkahkan kakinya menuju ke kedai “Naughty Caffe” milik Sensei.

“Hello guy! Why you still here? Today is your schedule flight to go to Indonesia right?” Sapa Sensei menyambut kedatangan Sadam. Ia sedang membuat kopi dan sekaligus terkaget kenapa Sadam masih di Hongkong. Bukankah tadi sore Sadam sudah pamit untuk pulang ke Indonesia.

“No. I cancel my flight.” Sadam duduk di meja kedai tepat di depan Sensei. Menyalakan rokok dan menyembulkan asap rokok ke udara setelah ia selesai berbicara. Pandangan lalu melihat sekeliling kedai yang nampak riuh dengan pengunjung. Maklum akhir pekan malam minggu tepatnya. Tak beda jauh dengan di Indonesia. Setiap malam minggu pasti tempat umum di Hongkong penuh. Entah sepasang kekasih atau orang-orang yang rehat dari penatnya rutinitas di Hongkong.

“What happen guy? Everything is okay right?” Sensei gabung duduk di meja dan menghidangkan kopi susu panas langganan Sadam.

Sadam masih terdiam. Pandangannya masih melihat sekeliling dan berkaling-kali ia menyembulkan asap rokok ke udara. Sensei lalu kembali ke bar karena ada pelanggan baru yang order.

“Iam getting depression. I dont know.” Sadam menerawang ke atas dan menyembulkan asap rokoknya lalu melihat ke arah Sensei.

Sensei masih sibuk dengan pelanggannya. Semakin malam semakin banyak pelanggan untuk bergadang di kedainya.

“What happen guy? Tell me please. I will hear you.” Di sela-sela melayani pelanggan Sensei berbicara kepada Sadam.

Sadam kembali terdiam. Ia membuka Syal di leher. Rambut gondrongnya kini terlihat jelas. Menyita perhatian beberapa pengunjung. Di Hongkong lelaki berambut gondrong sangat jarang. Sekilas Sadam bak Curt Cobain dengan kearifan lokal. Ia membuang puntung rokongnya. Menyeruput secangkir kopi di depannya. Mengambil sebatang rokok dari bungkus. Menyalakan rokok untuk kedua kalinya. Menyembulkan asap rokok kesekian kali ke udara.

“Tommorow my girlfriend will married.” Sadam tertunduk.

“What? Not with you?” Sensei bertanya dengan kaget dan serius namun hanya sesaat dan kembali tertawa pongah.

“So, is it your reason cancelling the flight?” Lanjut Sensei dengan sedikit meledek.

Sadam hanya terdiam menikmati secangkir kopi dan kembali menyembulkan asap rokok berkali-kali.
***
Sely keluar dari kamar mandi. Ia matikan lampu utama kamarnya. Menggantinya dengan lampu tidur. Ia rebahkan badannya di kasur. Ia tarik selimutnya menyelimuti seluruh tubuhnya. Jam dinding di depan kasur menunjukan pukul 22.00 wib. Ia belum juga tertidur. Mata berkerlap-kerlip. Menerawang ke atas. Pikirannya tepat mengingat Sadam. Ia merasa bersalah akan keputusannya mengirim pesan singkat kepada Sadam sore hari tadi. Ia merasa bersalah kenapa baru sehari menjelang pernikahan ia memberitahu Sadam. Padahal sudah 2 bulan yang lalu rencana pernikahannya dengan mas Bambang direncanakan. Ia merasa bersalah kenapa baru tadi sore ia memberi kabar sementara esok hari adalah pernikahannya.
Ia juga ragu menikah dengan mas Bambang. Sebenarnya ia masih sangat menunggu Sadam. Itulah alasannya ia tidak pernah bercerita kepada Sadam tentang mas Bambang. Itu semua karena desakan orangtuanya, Pak Dakir dan Bu Jumanah. Hal itu bermula sejak mas Bambang anak pak Lurah datang ke rumah. Menyatakan ingin memperistri Sely. Sely sangat kaget saat itu. Ia tak menyangka. Ia kurang begitu dekat dengan mas Bambang. Ia pun hanya berjumpa ketika perkumpulan karang taruna di kampung. Sely tak terlalu berpikir pusing saat itu. Toh kabar lamaran itu juga hanya ia dengar dari orang tuanya. Karena saat itu Sely jarang di rumah. Ia sibuk dengan perkuliahannya di salah satu kampus swasta di Jogja.
Sejak kedatangan mas Bambang ke rumahnya, Bu Jumanah sering bertanya kepada Sely dan membujuknya. Bu Jumanah memang sangat terpesona dengan mas Bambang. Ia pikir sangat cocok dengan Sely. Maklum mas Bambang seorang anggota Kepolisian. Masih muda dan terkenal baik di kampung halamannya. Apalagi berasal dari keluarga terpandang seorangg Lurah. Bu Jumanah tentu berubah subyektif mendukung mas Bambang.
Berbeda halnya dengan Pak Dakir. Ia bersikap netral. Entah mau menikah dengan Sadam anak Pak Basuki pejual toko kelontong di kelurahan sebelah. Teman SMA Sely atau mas Bambang anak Pak lurah seorang polisi. Hal itu diserahkan sepenuhnya kepada Sely. Menurut Pak Dakir baik Sadam maupun mas Bambang merupakan anak yang baik.

“Piye nduk? Mas Bambang iku gek ndang dijawab nduk.” Suatu sore Bu Jumanah bertanya kepada Sely sepulang dari kampus sambil membantu melepas jilbab Sely.

Bu Sely kan sampun janji kalih Sadam.” Sely nampak heran terhadap ibunya yang terus saja mendesaknya agar mau menikah dengan mas Bambang.

“Nduk koe karo Sadam kan rak yo gur pacaran to nduk? Dilamar we urung. Yo kan gak masalah nek koe milih prio sek teko nglamar koe. Tur yo mas Bambang iku cah apek tenan nduk.” Bu Jumanah terus membujuk Sely agar menerima lamaran mas Bambang dua minggu lalu. Bu Jumanah mengelus rambut Sely yang terurai.

“Bu yo mboten saget ngoten bu. Sely niku sampun yakin kalih Sadam. Sely sampun kenal Sadam dangu bu. Sely sampun janji bakal nunggu Sadam bu.” Sely bersikeras menolak bujukan ibunya.

“Oalah nduk wong yo durung dadi apa-apamu kok yo wes janji-janji nduk. Janji iku pantese kanggo wong sek wes dadi bojomu, garwomu nduk.” Bu Jumanah melanjutan bujukannya kepada Sely.

“Sely hanya terdiam. Ia tak memperhatikan ibunya.”

“Yowes nduk ngono wae. Dipikir meneh yo nduk sek tenanan. Mas Bambang iku tenanan nduk. Ora guyon. Tur yo bocahe apek. Keluargane terpandang nduk ning kampung kene.” Bu Jumanah tersenyum kepada anaknya lalu keluar kamar dan menutup kamar Sely.

Sementara Sely tetap terdiam. Malas menjawab bujukan ibunya yang hampir setiap hari dilakukan. Ia tak menghiraukannya.

Lambat laun nampaknya Bu Jumanah diam-diam menyetujui lamaran mas Bambang diluar kemauan Sely. Sementara Sely berada dalam kondisi tak bisa lagi menolaknya. Ia mau tidak mau ikut kemauan ibunya. Sementara ayahnya nampak nurut dengan ibunya.
Dua bulan semenjak Sely wisuda kelulusannya, pernikahannya dengan mas Bambang akan digelar. Selama itu pula ia masih sering berhubungan dengan Sadam. Bertanya kabar dan saling berbagi cerita sama seperti sediakala. Sely tidak pernah bercerita akan lamaran mas Bambang. Ia selalu nampak semua baik-baik saja setiap kali berkirim pesan dengan Sadam. Sely memang pandai menyembunyikan masalah. Sely cenderung orang yang sulit bercerita.
Sely tahu Sadam pernah memberitahunya bahwa setelah wisuda kelulusan Sely, ia akan pulang ke Indonesia. Namun Sadam tidak pernah memberitahu waktu pasti. Sadam sengaja tidak memberitahu. Ia memang suka memberi kejutan tiba-tiba.
Sore itu Sadam sudah berada di Bandara Hongkong Internasional Airport untuk terbang ke Indonesia. Sementara Sely tidak mengetahuinya. Sementara Sely tidak bisa berbuat banyak lagi. Ia belum memberitahu Sadam akan mas Bambang. Sementara esok hari adalah hari pernikahannya. Mau tidak mau harus memberitahu Sadam. Pada awalnya ia berusaha menelepon Sadam namun tidak terangkat. Ahirnya ia hanya mengirimkan pesan singkat. Ia juga berusaha menelepon lagi. Namun tak terangkat juga.
***
Malam menjelang pernikahannya dengan mas Bambang Sely tidak bisa tidur. Ia bingung harus berbuat apa. Ia sebenarnya masih ingin menunggu Sadam. Ia menunggu tak ada balasan pesan dari Sadam. Ia bingung sepanjang malam. Hingga akhirnya ia baru tertidur menjelang jam 2 pagi.

Bersambung......
Share:

Wednesday, February 20, 2019

Ingin Kuputar Waktu Bersamamu



Dadang bersimpuh layu menatap pusara tua dengan nisan yang diselimuti lumut. Ditemani kesunyian malam. Hatinya bergumul hebat. Pandangan matanya semakin nanar. Tangannya memegang kuat kepala nisan. Hatinya semakin berkecamuk. Kelopak matanya tak kuat lagi menahan air matanya. Ia baru tahu ayahnya telah tiada.
Ia baru saja menginjakkan kakinya di kampung halamannya setelah 12 tahun pergi tak tahu arah. Sore itu terjadi pertengkaran hebat antara Dadang dengan kakak kandungnya, Santi.
“Kamu gausah pulang ke rumah lagi! Kamu sudah kuanggap meninggal Bentak Santi melihat Dadang memasuki halaman rumahnya.
“Bapak di mana kak?” Tanya Dadang menghampiri kakaknya.
“Ngapain tanya Bapak? Gausah tanya Bapak di mana. Pergi kamu sekarang juga.” Santi semakin emosi. Ia mengusir Dadang dari rumahnya dengan memukul punggung Dadang berkali-kali. Semenjak Dadang pergi meninggalkan keluarga sembari mencaci maki ayahnya, Santi sangat benci kepada Dadang.
Dadang berusaha bertahan dan berkali-kali memohon maaf kepada kakaknya. Hingga akhirnya keributan antara Dadang dan Santi terdengar oleh tetangga sekitar.
“Sudah Santi sudah.” Teriak Pardi tetangga terdekat sambil berlari berusaha menenangkan Santi. Rumah Pardi tepat berada di depan rumah Santi.
“Ada apa? Ada apa ini?” Mbok Nem tetangga samping rumah Santi juga ikut datang melerai yang kemudian diikuti oleh beberapa tetangga lainnya.
Dadang sangat kaget dan histeris ketika diberi tahu Pardi bahwa Ayahnya sudah meninggal. Ia segera bergegas menyalakan motornya. Memacu motornya meninggalkan rumah masa kecilnya bersama Ayahnya menuju ke pusara Ayahnya. Pusara Ayahnya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahnya. Sepanjang jalan air matanya mengalir deras berpacu dengan laju motornya. Pikirannya sedih bukan main. Jantungnya berdegup kencang. Tangan dan kakinya terasa lunglai. Ketika sampai pusaran, langit sudah gelap. Ia segera bersimpuh di hadapan pusara dan tak sanggup berkata apa-apa.
Semenjak masa SMA Dadang sudah menjadi anak yang nakal dan bandel. Ia sering bolos sekolah dan pergi mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Berkali-kali guru BK sekolahnya memanggil orang tuanya karena Dadang berulah. Dadang juga sering kali berurusan dengan polisi karena terlibat tawuran. Jika dihitung sudah tak terkira rasa malu yang diterima ayahnya.
 Sering kali ayahnya mencari Dadang hingga ke kampung sebelah ketika tak kunjung pulang sejak pagi sekolah hingga larut malam. Maklum, tinggal ayahnya sendirilah yang membesarkannya. Sementara ibunya sudah meninggal ketika Dadang SMP. Ayah Dadang sehari-hari bekerja mengayuh becak disekitar alun-alun utara keraton. Beliau sepenuh hati bekerja keras untuk membiayai sekolah kedua anaknya agar bisa menjadi orang suskses kelak. Namun hatinya seringkali kecewa dan sakit ketika mendengar Dadang berulah.
Sering kali Dadang marah-marah kepada ayahnya ketika ia tidak diberi uang. Bahkan seolah sudah tak menghargai ayahnya lagi. Tepatnya ketika Dadang berulah saat terlibat tawuran dengan sekolah lain. Ia harus berurusan dengan polisi. Ayah Dadangpun hadir ke kantor polisi atas panggilan polisi. Sesampainya di kantor polisi ayah Dadang berkali-kali memohon maaf kepada polisi dan sanggup untuk mendidiknya lagi. Berkali-kali ia memohon agar urusan Dadang segera selesai.
Sesampainya di rumah Dadang justru marah dan memaki ayahnya. Bukannya mendengarkan, ia justru bercekcok hebat dengan ayahnya. Hingga akhirnya Dadang memilih pergi entah kemana. Semenjak itu ayah Dadang setiap pagi hadir ke sekolah berharap dapat bertemu Dadang di sana. Namun hal itu tak pernah ia temukan. Hingga saat kelulusanpun ia belum juga berjumpa dengan Dadang. Rupanya Dadang menggelandang entah kemana. Beberapa tahun kemudian ayah Dadang mengalami sakit dalam. Berkali-kali ia harus menginap di rumah sakit. Berkali-kali pula ia bertanya kepada Santi. Apakah Dadang pulang ke rumah atau tahu di mana Dadang berada. Hingga akhir hayatnya sang ayah tak juga berjumpa lagi dengan anak laki-lakinya, Dadang.
Sore itu Dadang pulang ke rumah. Nampaknya ia rindu ayahnya. Namun justru ia mendapat kabar bahwa ayahnya sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Ia kaget bukan kepalang. Ia bersimpuh dihadapan pusaran ayahnya dengan penuh penyesalan. Ia meraung-meraung. Namun suaranya tak terdengar. Ditelan sunyi dan gelapnya malam. Hati dan pikirannya bergulat hebat dengan masa-masa kecilnya bersama ayahnya. Air matanya mengalir semakin deras membasahi batu nisan ayahnya. Ia dihantui penyesalan dan rindu kepada ayahnya.

Share:

Sunday, February 10, 2019

Si Gonteng Seekor Semut

Suasana panas politik sedang berlangsung di Negara Republik Pasir atau yang lebih gagah dikenal dengan NRP. NRP adalah negara bangsa semut dengan sistem pemerintahan demokrasi. Sudah menjadi risiko negara dengan sistem pemerintahan demokrasi. Pasti selalu bergejolak ketika berlangsung pemilihan pemimpin dalam sebuah acara PEMERAS dengan kepanjangan Pemilihan Merakyat Rakyat Semut.

Letak geografis NRP terletak di depan sebuah proyek pembangunan jembatan. Lebih tepatnya berada di puncak gundukan pasir yang nampak abadi karena proyek dihentikan sementara. Bangsa semut sangat bersyukur bisa mendirikan negara di gundukan pasir proyek. Maklum sebagai bangsa yang tidak ditakdirkan Tuhan menjadi pemimpin di muka bumi, mereka terpaksa harus memindahkan negaranya dengan periode waktu yang tidak tentu.

Kadang mereka mendirikan negara di tanah tetapi harus pergi karena dibangun jalan. Kadang mereka mendirikan negara di batang pohon tetapi juga terpaksa harus pergi karena pohonnya tumbang ditebang. Kali ini mereka sangat bersyukur dengan proyek yang mangkrak setidaknya bangsa semut bisa bertahan di gundukan pasir.

Tahun ini sedang berlangsung tahun politik. Semua rakyat semut sibuk menyambut hiruk pikuk PEMERAS. Namun tidak berlaku bagi Gonteng seekor semut muda pekerja. Kawan sebayanya menyebut si Gonteng ini semut yang apatis. Tidak peduli dengan keberlangsungan negaranya. Namun hal itu tidak terlalu menyita pikiran si Gonteng. Sebagai semut pekerja ia terlalu sibuk untuk bekerja. Sebab ada si Merah, semut muda yang cantik yang menjadi impian si Gonteng.

Aturan yang berlangsung di PEMERAS petahana tidak boleh mencalonkan lagi menjadi pemimpin. Dalam arti setiap periode pemimpin bangsa semut pasti ganti. Hal ini terjadi karena antusias rakyat semut untuk menjadi pemimpin sangat banyak sekali. Hampir setiap periode PEMERAS calon-calon pemimpin selalu saja terdapat wajah baru. Pemimpin yang pernah menjabat dan calon pemimpin yang pernah gagal dipastikan tidak akan berani tampil dipanggung lagi. Karena sudah menjadi kehendak rakyat semut wajah baru pasti menjadi primadona.

Namun sungguh berbeda dengan PEMERAS periode ini. Biasanya tercipta puluhan kubu tetapi kali ini tercipta empat kubu yang sangat runcing dan sangat kuat. Kubu tersebut yakni kubu semut muda laki-laki, kubu semut muda perempuan, kubu semut tua laki-laki, dan kubu semut tua perempuan. Tak diragukan lagi dari segi kesetaraan gender, bangsa semut patut diacungi jempol.

Akibat terciptanya kubu yang sangat runcing, suasana politik terasa sangat panas dan  bahkan kurang sehat. Tersebar isu dikalangan rakyat semut bahwa PEMERAS periode ini sangat menentukan nasib NRP yaitu negara bangsa semut. Isu-isu tersebut sangat tidak masuk akal dan terkesan menggelitik tapi menjadi isu yang sangat signifikan.

Seperti jika semut muda laki-laki terpilih menjadi pemimpin maka dapat dipastikan bangsa semut akan menjadi pemimpin di muka bumi. Bukankah sudah takdir Tuhan bukan bangsa semutlah pemimpin di muka bumi.

Jika semut muda perempuan terpilih menjadi pemimpin maka dapat dipastikan letak geografis NRP di puncak gundukan pasir tidak akan tergoyahkan. Bahkan pelaksana proyek pun akan melindunginya. Meskipun tidak ada dasar pasti akan hal ini tapi rakyat semut pendukung pemimpin ini sangat meyakininya.

Lain halnya dengan semut tua baik laki-laki maupun perempuan pendukung masing-masing diantara mereka meyakini satu hal bahwa Orang Tua merupakan solusi dari semua solusi. Mereka meyakini satu prinsip bahwa apapun masalahnya larilah ke Orang Tua. Lagi-lagi bangsa semut selalu meyakini sesuatu tanpa adanya riset terlebih dahulu.

Ke empat kubu tersebut selalu menebar manuver. Begitupun dengan pendukungnya. Saling perang melalui ANTBOOK yaitu sosmed yang sangat terkenal di kalangan bangsa semut. Saking gencarnya aktivitas antwar, semacam twitwar bangsa sebelah. Sampai-sampai Dewan Keamanan NRP atau disingkat DEKAP sibuk menangkapi simpatisan kubu yang menyimpang.
***
Suatu siang si Gonteng termenung dengan bangsanya NRP. Bukankah PEMERAS itu hanyalah kegiatan rutin dalam kehidupan bernegara. Kenapa semua orang pada latah. Bukankah kegiatan PEMERAS itu hanya sehari doang. Kenapa harus dibuat pusing bertahun-tahun. Sampai-sampai saling bermusuhan sesama semut. Saling baku hantam sesama semut.

Si Gonteng lalu menjatuhkan air mata. Bukan karena si Merah semut pujaannya bertunangan dengan orang lain. Melainkan karena si Gonteng bingung kenapa sekian banyak rakyat NRP, rakyat semut tidak ada yang memikirkan kemana kita harus memindahkan Negara Republik Pasir kalau bangsa sebelah melanjutkan proyeknya. Rakyat Negara Republik Pasir hanya sibuk satu hal yaitu kegiatan PEMERAS.

Kegiatan PEMERAS pun sukses digelar. Terpilihlah semut muda perempuan sebagai pemimpin NRP, pemimpin bangsa semut. PEMERAS sudah usai digelar. Namun permusuhan diantara sesama semut tak kunjung berhenti. Masih saja ketegangan berlangsung berlarut-larut.

Dugaan si Gonteng pun benar. Bangsa sebelah melanjutkan proyek jembatan. Buldozer menggaruk gundukan pasir dari puncaknya. Hancurlah Negara Republik Pasir. Sesaat setelah pelantikan pemimpin barunya.
Share:

Ditikung Waktu

Seto tidak habis pikir. Dia kecewa berat. Marah pada waktu. Ingin rasanya dia berhadap-hadapan. Melampiaskan amarahnya pada waktu. Menghajar waktu hingga babak belur. Ia tak habis pikir pengabdiannya seumur hidup ia habiskan hanya untuk waktu semata. Rasa sabarnya ia berikan sepenuhnya untuk waktu. Nafsu asmaranya rela mengalah kepada waktu. Tapi mengapa waktu tega mengkhianatinya.

Amarahnya semakin meledak. Membelah jalanan. Mengabaikan semua yang berpacu dengannya. Jarum spedometernya bergerak cepat berpacu dengan laju motornya. Namun luput dari jepretan lensa matanya. Tatapan matanya semakin buram oleh peluh airmatanya yang tak terbendung. Darahnya mengalir cepat berbanding lurus dengan laju motornya. Gejolak amarahnya semakin menjadi. Hingga silau sorot lampu yang tak pernah ia lihat sebelumnya menampar wajahnya. Brakkk!

Ia tersengal hebat. Nafasnya menggelinjang. Berontak dari paru-parunya mencari celah untuk keluar. Namun gagal. Ia menyerah. Melayang-layang. Dengan sisa memorinya seolah memutar waktu hidupnya kebelakang. Ia masuk ke ruang kelasnya. Seperti biasa Sita satu-satunya gadis yang pertama kali tertangkap lensa mata Seto ketika memasuki  kelas setiap harinya. Maklum Sita duduk di meja paling depan. Meja Seto dan Sita berdampingan. Sita adalah gadis pujaan hatinya dimasa putih biru-biru.

Dipagi hari mereka nampak bak orang yang tak pernah kenal. Hanya saling mengamati. Sesekali mencuri pandang dan berkali-kali matanya segaris tepat berpapasan. Namun disiang hari mereka berubah bak sahabat akrab tanpa canggung dan rasa bosan. Lain halnya ketika pulang sekolah. Meski tak bersanding bersepeda bersama. Tapi mereka saling menanti. Jika di depan pura-pura melambat biar tak sengaja disalip. Jika di belakang sungguh-sungguh menaikan kecepatan biar bisa mengikuti.

Lain halnya ketika sudah sampai di rumah. Mereka saling menanti sms masuk. Log in di facebook sekadar menampakan diri bahwa sedang online. Hingga mendengarkan radio hanya sekadar menanti salam yang datang. Hingga puncaknya di malam hari dapat dipastikan "Assallamuallaikum, Malam, Sedang apa" adalah sebuah pesan yang mengawali obrolan setiap malam.

Seto bergulat dengan batin. Nafsu asmaranya ingin berontak menampakan diri. Namun akalnya menghadang. "Seto perbuatanmu akan sia-sia, jika kau biarkan nafsu asmaramu berontak keluar. Hatimu mungkin akan bahagia. Namun tak ada jaminan kau memilikinya seutuhnya Seto. Waktumu masih panjang. Sabarlah Seto. Simpanlah. Ungkapkan kelak diwaktu yang tepat." Demikian perintah akal Seto.

Sejak saat itu Seto sangat hormat kepada waktu. Bahkan ia rela menghamba kepada waktu. Waktu menjadi diksi yang paling berharga baginya. Ia sangat takzim. Ia pendam nafsu asmaranya. Ia serahkan kepada waktu. Ia rela pujaan hatinya dicumbu oleh waktu. Ia rela pujaan hatinya dimadu kasih oleh waktu. Tujuh tahun lamanya. Ia serahkan pujaan hatinya kepada waktu. Ia percaya waktu akan menjaga pujaan hatinya. Karena ia percaya hanya manusia yang akan mengkhianatinya. Sementara waktu akan memihak kepadanya. Waktu tidak akan pernah mengkhinatinya.

Meski waktu lambat laun menjauhkan Seto dengan pujaan hatinya. Ia yakin waktu akan tetap memihak kepadanya. Ia yakin itu bagian dari cara waktu menjaga pujaan hatinya. Hingga pada akhirnya tepat sesaat setelah ia menyelesaikan kewajibannya. Ia yakin ini adalah saat yang tepat yang dijanjikan oleh waktu.

Diam-diam ia menyusun puzzle kisah-kisahnya bersama pujaan hatinya. Ia diam-diam memperhatikan pujaan hatinya. Sama seperti tujuh tahun yang lalu ketika masa putih biru-biru. Sesekali pujaan hatinya lewat di layar gawainya dan berkali-kali saling bertanya kabar.

Mulai dari situlah Seto benci kepada waktu. Ia marah kepada waktu. Ia kecewa berat. Ingin rasanya dia berhadap-hadapan. Melampiaskan amarahnya pada waktu. Menghajar waktu hingga babak belur. Ia tak habis pikir pengabdiannya seumur hidup ia habiskan hanya untuk waktu semata. Rasa sabarnya ia berikan sepenuhnya untuk waktu. Nafsu asmaranya rela mengalah kepada waktu. Tapi mengapa waktu tega mengkhianatinya. Hal itu terjadi saat Seto membaca layar gawainya "Maaf aku sudah ada yang punya."

Pujaan Hatinya, Sita, ditikung waktu.

Ia tersengal hebat. Nafasnya menggelinjang. Berontak dari paru-parunya mencari celah untuk keluar. Namun gagal. Ia menyerah. Melayang-layang. Antara hidup dan mati. Terbaring di UGD sebuah rumah sakit. Setelah berjuang melewati jalanan kota dengan ambulan.
Share:

Saturday, February 9, 2019

Si Thole Anak Perkutut

Fajar menyingsing di ufuk timur. Segaris pita cahaya mencabik-cabik ranting yang mengahalanginya  sehingga menusuk mata Thole dengan tajam. Membangunkannya dari tidur malamnya. Ia bergegas dari sarangnya. Keluar bertengger di ranting. Mengeluarkan siulan indah perkutut. Demikian halnya bangsa ayam. Satu persatu berkokok keluar melintasi pohon tepat di bawah Thole bertengger. Tak mau kalah, bangsa sapi menyambut Tuan Ranu dengan gaung yang sangat perkasa. Tuan Ranu membawa seikat palawija dari tumpukan teras rumahnya untuk diberikan kepada sapi. Garis-garis cahaya sang Fajar semakin berlimpah mengawali pagi hari itu.

Thole tak henti bersiul ria bersahut-sahutan dengan burung-burung tetangganya. Sementara Ayah dan Ibu Thole bergegas terbang menjelajah penjuru negeri untuk mengais biji-biji kehidupan. Nampak jelas dari tempat Thole bertengger, Tuan Ranu duduk di depan rumahnya memandang sapi yang baru saja diberi makan olehnya. Pohon tempat Thole bertengger setiap hari memanglah berdampingan dengan rumah Tuan Ranu. Pantas saja Thole sangat hafal dengan aktivitas Tuan Ranu setiap harinya.

Hal itu membuat Thole bertanya-tanya. Kenapa Tuan Ranu ini hanya sendirian? Di mana ayah dan ibu Tuan Ranu? Di mana anak-anak Tuan Ranu? Di mana sanak sudara Tuan Ranu? Apakah dengan kesendiriannya Tuan Ranu bahagia? Berbagai pertanyaan tersebut mengganggu pikiran si Thole. Anak seekor burung perkutut yang sangat takut dengan kesepian. Ayah dan Ibunya terlambat pulang saja dia sudah hampir mati ditusuk-tusuk sepi.

Sudah beberapa tahun Thole mengamati, Selama setahun ada masa-masa di mana Tuan Ranu kedatangan anak-anak dan sanak saudaranya. Ketika masa-masa itu Thole melihat senda gurau dan keramaian bangsa manusia. Thole tidak tahu pasti apakah bangsa manusia tersebut sedang berbahagia atau sedih? Maklum sebagai bangsa burung Thole kurang memahami kehidupan bangsa manusia. Thole tidak tahu pasti kapan masa-masa itu terjadi. Tetapi yang jelas hanya singkat di waktu tertentu saja dan lebih banyak kesepian  hari-hari yang di jalani Tuan Ranu.

Hingga suatu malam Thole bertanya kepada Ayah dan Ibunya ketika menjelang tidur. Yah, Buk? kenapa bangsa manusia itu aneh si?

"Aneh gimana?" timpal Ibu Thole.

"Kenapa bangsa manusia itu suka kesendirian dan kesepian?" lanjut Thole.

"Maksud kamu?" Ibu Thole nampak bingung.

"Itu Tuan Ranu aku perhatikan setiap hari hidupnya sendiri mulu. Sering melamun. Anak-anak dan sanak saudaranya datang berkumpul juga cuma waktu-waktu tertentu. Hampir tidak pernah." Thole menjelaskan.

"Ohhh itu karena Tuan Ranu sudah tua renta Thole. Dia sudah tidak kuat bekerja lagi. Isterinya sudah meninggal. Anak-anaknya juga sudah besar. Mereka bertebaran di penjuru negeri untuk cari makan. Sama seperti Ayah dan Ibu Thole terbang ke penjuru negeri untuk mengais biji-biji kehidupan." Ayah Thole menjelaskan kepada anak semata wayangnya.

"Tapi Ayah dan Ibu kan hanya pergi pagi dan pulang sore hari menemani Thole lagi. Ayah dan Ibu pun pasti membawa biji-biji kehidupan untuk Thole meskipun hanya pergi seharian. Berbeda dengan anak-anak Tuan Ranu kenapa harus pergi bertahun-tahun kalau hanya untuk cari makan?" Layaknya anak kecil Thole selalu membuat pertanyaan yang tiada habisnya.

"Thole, anaku, bangsa manusia itu kalau cari makan bukan hanya untuk kebutuhan hari ini melainkan juga untuk kehidupan esok hari dan masa depan." Ayah Thole berusaha kembali menjawab.

"Wah... kalau begitu di hari tua nanti bangsa manusia tidak perlu pergi cari makan lagi ya. Kan sudah banyak makan yang dicari waktu muda dulu. Begitu yah?" Tanya Thole lagi.

"Ya kurang lebih begitu." Jawab Ayah sedikit malas karena mulai mengantuk.

"Tapi tidak begitu yah dengan Tuan Ranu. Buktinya anak-anak Tuan Ranu tetap pergi cari makan bertahun-tahun. Berarti kan Tuan Ranu gak punya persediaan untuk anak mereka." Pertanyaan terlontar kembali dari Thole.

"Sudah Thole tidurlah sudah malam. Kamu ini bikin pertanyaan terus. Bangsa manusia itu tidak sesimpel kita Thole. Sebenarnya mereka pergi bukan hanya untuk cari makan saja. Banyak kebutuhannya Thole." Kali ini giliran Ibu Thole yang menjawab. Ayah Thole sudah terlelap tidur.

"Hmm. Bangsa Manusia kok banyak maunya? Lanjut pertanyaan Thole.

Kali ini Ayah dan Ibu Thole tak menjawab pertanyaan Thole. Rupanya mereka sudah tertidur pulas. Thole menghabiskan malam dengan segudang gelisah tentang bangsa manusia. 
Share: