Hidup bukan sekedar hidup

Wednesday, February 20, 2019

Ingin Kuputar Waktu Bersamamu



Dadang bersimpuh layu menatap pusara tua dengan nisan yang diselimuti lumut. Ditemani kesunyian malam. Hatinya bergumul hebat. Pandangan matanya semakin nanar. Tangannya memegang kuat kepala nisan. Hatinya semakin berkecamuk. Kelopak matanya tak kuat lagi menahan air matanya. Ia baru tahu ayahnya telah tiada.
Ia baru saja menginjakkan kakinya di kampung halamannya setelah 12 tahun pergi tak tahu arah. Sore itu terjadi pertengkaran hebat antara Dadang dengan kakak kandungnya, Santi.
“Kamu gausah pulang ke rumah lagi! Kamu sudah kuanggap meninggal Bentak Santi melihat Dadang memasuki halaman rumahnya.
“Bapak di mana kak?” Tanya Dadang menghampiri kakaknya.
“Ngapain tanya Bapak? Gausah tanya Bapak di mana. Pergi kamu sekarang juga.” Santi semakin emosi. Ia mengusir Dadang dari rumahnya dengan memukul punggung Dadang berkali-kali. Semenjak Dadang pergi meninggalkan keluarga sembari mencaci maki ayahnya, Santi sangat benci kepada Dadang.
Dadang berusaha bertahan dan berkali-kali memohon maaf kepada kakaknya. Hingga akhirnya keributan antara Dadang dan Santi terdengar oleh tetangga sekitar.
“Sudah Santi sudah.” Teriak Pardi tetangga terdekat sambil berlari berusaha menenangkan Santi. Rumah Pardi tepat berada di depan rumah Santi.
“Ada apa? Ada apa ini?” Mbok Nem tetangga samping rumah Santi juga ikut datang melerai yang kemudian diikuti oleh beberapa tetangga lainnya.
Dadang sangat kaget dan histeris ketika diberi tahu Pardi bahwa Ayahnya sudah meninggal. Ia segera bergegas menyalakan motornya. Memacu motornya meninggalkan rumah masa kecilnya bersama Ayahnya menuju ke pusara Ayahnya. Pusara Ayahnya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahnya. Sepanjang jalan air matanya mengalir deras berpacu dengan laju motornya. Pikirannya sedih bukan main. Jantungnya berdegup kencang. Tangan dan kakinya terasa lunglai. Ketika sampai pusaran, langit sudah gelap. Ia segera bersimpuh di hadapan pusara dan tak sanggup berkata apa-apa.
Semenjak masa SMA Dadang sudah menjadi anak yang nakal dan bandel. Ia sering bolos sekolah dan pergi mabuk-mabukan bersama teman-temannya. Berkali-kali guru BK sekolahnya memanggil orang tuanya karena Dadang berulah. Dadang juga sering kali berurusan dengan polisi karena terlibat tawuran. Jika dihitung sudah tak terkira rasa malu yang diterima ayahnya.
 Sering kali ayahnya mencari Dadang hingga ke kampung sebelah ketika tak kunjung pulang sejak pagi sekolah hingga larut malam. Maklum, tinggal ayahnya sendirilah yang membesarkannya. Sementara ibunya sudah meninggal ketika Dadang SMP. Ayah Dadang sehari-hari bekerja mengayuh becak disekitar alun-alun utara keraton. Beliau sepenuh hati bekerja keras untuk membiayai sekolah kedua anaknya agar bisa menjadi orang suskses kelak. Namun hatinya seringkali kecewa dan sakit ketika mendengar Dadang berulah.
Sering kali Dadang marah-marah kepada ayahnya ketika ia tidak diberi uang. Bahkan seolah sudah tak menghargai ayahnya lagi. Tepatnya ketika Dadang berulah saat terlibat tawuran dengan sekolah lain. Ia harus berurusan dengan polisi. Ayah Dadangpun hadir ke kantor polisi atas panggilan polisi. Sesampainya di kantor polisi ayah Dadang berkali-kali memohon maaf kepada polisi dan sanggup untuk mendidiknya lagi. Berkali-kali ia memohon agar urusan Dadang segera selesai.
Sesampainya di rumah Dadang justru marah dan memaki ayahnya. Bukannya mendengarkan, ia justru bercekcok hebat dengan ayahnya. Hingga akhirnya Dadang memilih pergi entah kemana. Semenjak itu ayah Dadang setiap pagi hadir ke sekolah berharap dapat bertemu Dadang di sana. Namun hal itu tak pernah ia temukan. Hingga saat kelulusanpun ia belum juga berjumpa dengan Dadang. Rupanya Dadang menggelandang entah kemana. Beberapa tahun kemudian ayah Dadang mengalami sakit dalam. Berkali-kali ia harus menginap di rumah sakit. Berkali-kali pula ia bertanya kepada Santi. Apakah Dadang pulang ke rumah atau tahu di mana Dadang berada. Hingga akhir hayatnya sang ayah tak juga berjumpa lagi dengan anak laki-lakinya, Dadang.
Sore itu Dadang pulang ke rumah. Nampaknya ia rindu ayahnya. Namun justru ia mendapat kabar bahwa ayahnya sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Ia kaget bukan kepalang. Ia bersimpuh dihadapan pusaran ayahnya dengan penuh penyesalan. Ia meraung-meraung. Namun suaranya tak terdengar. Ditelan sunyi dan gelapnya malam. Hati dan pikirannya bergulat hebat dengan masa-masa kecilnya bersama ayahnya. Air matanya mengalir semakin deras membasahi batu nisan ayahnya. Ia dihantui penyesalan dan rindu kepada ayahnya.

Share:

0 comments:

Post a Comment