Dadang bersimpuh layu menatap pusara tua dengan nisan
yang diselimuti lumut. Ditemani kesunyian malam. Hatinya bergumul hebat.
Pandangan matanya semakin nanar. Tangannya memegang kuat kepala nisan. Hatinya
semakin berkecamuk. Kelopak matanya tak kuat lagi menahan air matanya. Ia baru
tahu ayahnya telah tiada.
Ia baru saja menginjakkan kakinya di kampung halamannya
setelah 12 tahun pergi tak tahu arah. Sore itu terjadi pertengkaran hebat
antara Dadang dengan kakak kandungnya, Santi.
“Kamu gausah pulang ke rumah lagi! Kamu sudah kuanggap
meninggal” Bentak Santi melihat
Dadang memasuki halaman rumahnya.
“Bapak di mana kak?” Tanya Dadang menghampiri kakaknya.
“Ngapain tanya Bapak? Gausah tanya Bapak di mana. Pergi
kamu sekarang juga.” Santi semakin emosi. Ia mengusir Dadang dari rumahnya
dengan memukul punggung Dadang berkali-kali. Semenjak Dadang pergi meninggalkan
keluarga sembari mencaci maki ayahnya, Santi sangat benci kepada Dadang.
Dadang berusaha bertahan dan berkali-kali memohon maaf
kepada kakaknya. Hingga akhirnya keributan antara Dadang dan Santi terdengar
oleh tetangga sekitar.
“Sudah Santi sudah.” Teriak Pardi tetangga terdekat
sambil berlari berusaha menenangkan Santi. Rumah Pardi tepat berada di depan rumah
Santi.
“Ada apa? Ada apa ini?” Mbok Nem tetangga samping rumah
Santi juga ikut datang melerai yang kemudian diikuti oleh beberapa tetangga
lainnya.
Dadang sangat kaget dan histeris ketika diberi tahu Pardi
bahwa Ayahnya sudah meninggal. Ia segera bergegas menyalakan motornya. Memacu
motornya meninggalkan rumah masa kecilnya bersama Ayahnya menuju ke pusara
Ayahnya. Pusara Ayahnya berjarak kurang lebih 500 meter dari rumahnya.
Sepanjang jalan air matanya mengalir deras berpacu dengan laju motornya. Pikirannya
sedih bukan main. Jantungnya berdegup kencang. Tangan dan kakinya terasa
lunglai. Ketika sampai pusaran, langit sudah gelap. Ia segera bersimpuh di
hadapan pusara dan tak sanggup berkata apa-apa.
Semenjak masa SMA Dadang sudah menjadi anak yang nakal
dan bandel. Ia sering bolos sekolah dan pergi mabuk-mabukan bersama teman-temannya.
Berkali-kali guru BK sekolahnya memanggil orang tuanya karena Dadang berulah.
Dadang juga sering kali berurusan dengan polisi karena terlibat tawuran. Jika
dihitung sudah tak terkira rasa malu yang diterima ayahnya.
Sering kali ayahnya mencari Dadang hingga ke
kampung sebelah ketika tak kunjung pulang sejak pagi sekolah hingga larut
malam. Maklum, tinggal ayahnya sendirilah yang membesarkannya. Sementara ibunya
sudah meninggal ketika Dadang SMP. Ayah Dadang sehari-hari bekerja mengayuh
becak disekitar alun-alun utara keraton. Beliau sepenuh hati bekerja keras
untuk membiayai sekolah kedua anaknya agar bisa menjadi orang suskses kelak.
Namun hatinya seringkali kecewa dan sakit ketika mendengar Dadang berulah.
Sering kali
Dadang marah-marah kepada ayahnya ketika ia tidak diberi uang. Bahkan seolah
sudah tak menghargai ayahnya lagi. Tepatnya ketika Dadang berulah saat terlibat
tawuran dengan sekolah lain. Ia harus berurusan dengan polisi. Ayah Dadangpun
hadir ke kantor polisi atas panggilan polisi. Sesampainya di kantor polisi ayah
Dadang berkali-kali memohon maaf kepada polisi dan sanggup untuk mendidiknya
lagi. Berkali-kali ia memohon agar urusan Dadang segera selesai.
Sesampainya di
rumah Dadang justru marah dan memaki ayahnya. Bukannya mendengarkan, ia justru
bercekcok hebat dengan ayahnya. Hingga akhirnya Dadang memilih pergi entah
kemana. Semenjak itu ayah Dadang setiap pagi hadir ke sekolah berharap dapat
bertemu Dadang di sana. Namun hal itu tak pernah ia temukan. Hingga saat kelulusanpun
ia belum juga berjumpa dengan Dadang. Rupanya Dadang menggelandang entah
kemana. Beberapa tahun kemudian ayah Dadang mengalami sakit dalam. Berkali-kali
ia harus menginap di rumah sakit. Berkali-kali pula ia bertanya kepada Santi.
Apakah Dadang pulang ke rumah atau tahu di mana Dadang berada. Hingga akhir
hayatnya sang ayah tak juga berjumpa lagi dengan anak laki-lakinya, Dadang.
Sore itu Dadang
pulang ke rumah. Nampaknya ia rindu ayahnya. Namun justru ia mendapat kabar
bahwa ayahnya sudah meninggal 5 tahun yang lalu. Ia kaget bukan kepalang. Ia
bersimpuh dihadapan pusaran ayahnya dengan penuh penyesalan. Ia
meraung-meraung. Namun suaranya tak terdengar. Ditelan sunyi dan gelapnya
malam. Hati dan pikirannya bergulat hebat dengan masa-masa kecilnya bersama
ayahnya. Air matanya mengalir semakin deras membasahi batu nisan ayahnya. Ia
dihantui penyesalan dan rindu kepada ayahnya.
0 comments:
Post a Comment