Fajar menyingsing di ufuk timur. Segaris pita cahaya mencabik-cabik ranting yang mengahalanginya sehingga menusuk mata Thole dengan tajam. Membangunkannya dari tidur malamnya. Ia bergegas dari sarangnya. Keluar bertengger di ranting. Mengeluarkan siulan indah perkutut. Demikian halnya bangsa ayam. Satu persatu berkokok keluar melintasi pohon tepat di bawah Thole bertengger. Tak mau kalah, bangsa sapi menyambut Tuan Ranu dengan gaung yang sangat perkasa. Tuan Ranu membawa seikat palawija dari tumpukan teras rumahnya untuk diberikan kepada sapi. Garis-garis cahaya sang Fajar semakin berlimpah mengawali pagi hari itu.
Thole tak henti bersiul ria bersahut-sahutan dengan burung-burung tetangganya. Sementara Ayah dan Ibu Thole bergegas terbang menjelajah penjuru negeri untuk mengais biji-biji kehidupan. Nampak jelas dari tempat Thole bertengger, Tuan Ranu duduk di depan rumahnya memandang sapi yang baru saja diberi makan olehnya. Pohon tempat Thole bertengger setiap hari memanglah berdampingan dengan rumah Tuan Ranu. Pantas saja Thole sangat hafal dengan aktivitas Tuan Ranu setiap harinya.
Hal itu membuat Thole bertanya-tanya. Kenapa Tuan Ranu ini hanya sendirian? Di mana ayah dan ibu Tuan Ranu? Di mana anak-anak Tuan Ranu? Di mana sanak sudara Tuan Ranu? Apakah dengan kesendiriannya Tuan Ranu bahagia? Berbagai pertanyaan tersebut mengganggu pikiran si Thole. Anak seekor burung perkutut yang sangat takut dengan kesepian. Ayah dan Ibunya terlambat pulang saja dia sudah hampir mati ditusuk-tusuk sepi.
Sudah beberapa tahun Thole mengamati, Selama setahun ada masa-masa di mana Tuan Ranu kedatangan anak-anak dan sanak saudaranya. Ketika masa-masa itu Thole melihat senda gurau dan keramaian bangsa manusia. Thole tidak tahu pasti apakah bangsa manusia tersebut sedang berbahagia atau sedih? Maklum sebagai bangsa burung Thole kurang memahami kehidupan bangsa manusia. Thole tidak tahu pasti kapan masa-masa itu terjadi. Tetapi yang jelas hanya singkat di waktu tertentu saja dan lebih banyak kesepian hari-hari yang di jalani Tuan Ranu.
Hingga suatu malam Thole bertanya kepada Ayah dan Ibunya ketika menjelang tidur. Yah, Buk? kenapa bangsa manusia itu aneh si?
"Aneh gimana?" timpal Ibu Thole.
"Kenapa bangsa manusia itu suka kesendirian dan kesepian?" lanjut Thole.
"Maksud kamu?" Ibu Thole nampak bingung.
"Itu Tuan Ranu aku perhatikan setiap hari hidupnya sendiri mulu. Sering melamun. Anak-anak dan sanak saudaranya datang berkumpul juga cuma waktu-waktu tertentu. Hampir tidak pernah." Thole menjelaskan.
"Ohhh itu karena Tuan Ranu sudah tua renta Thole. Dia sudah tidak kuat bekerja lagi. Isterinya sudah meninggal. Anak-anaknya juga sudah besar. Mereka bertebaran di penjuru negeri untuk cari makan. Sama seperti Ayah dan Ibu Thole terbang ke penjuru negeri untuk mengais biji-biji kehidupan." Ayah Thole menjelaskan kepada anak semata wayangnya.
"Tapi Ayah dan Ibu kan hanya pergi pagi dan pulang sore hari menemani Thole lagi. Ayah dan Ibu pun pasti membawa biji-biji kehidupan untuk Thole meskipun hanya pergi seharian. Berbeda dengan anak-anak Tuan Ranu kenapa harus pergi bertahun-tahun kalau hanya untuk cari makan?" Layaknya anak kecil Thole selalu membuat pertanyaan yang tiada habisnya.
"Thole, anaku, bangsa manusia itu kalau cari makan bukan hanya untuk kebutuhan hari ini melainkan juga untuk kehidupan esok hari dan masa depan." Ayah Thole berusaha kembali menjawab.
"Wah... kalau begitu di hari tua nanti bangsa manusia tidak perlu pergi cari makan lagi ya. Kan sudah banyak makan yang dicari waktu muda dulu. Begitu yah?" Tanya Thole lagi.
"Ya kurang lebih begitu." Jawab Ayah sedikit malas karena mulai mengantuk.
"Tapi tidak begitu yah dengan Tuan Ranu. Buktinya anak-anak Tuan Ranu tetap pergi cari makan bertahun-tahun. Berarti kan Tuan Ranu gak punya persediaan untuk anak mereka." Pertanyaan terlontar kembali dari Thole.
"Sudah Thole tidurlah sudah malam. Kamu ini bikin pertanyaan terus. Bangsa manusia itu tidak sesimpel kita Thole. Sebenarnya mereka pergi bukan hanya untuk cari makan saja. Banyak kebutuhannya Thole." Kali ini giliran Ibu Thole yang menjawab. Ayah Thole sudah terlelap tidur.
"Hmm. Bangsa Manusia kok banyak maunya? Lanjut pertanyaan Thole.
Kali ini Ayah dan Ibu Thole tak menjawab pertanyaan Thole. Rupanya mereka sudah tertidur pulas. Thole menghabiskan malam dengan segudang gelisah tentang bangsa manusia.
0 comments:
Post a Comment